Minggu, 06 November 2011

LAPORAN FITOKIM

LAPORAN FITOKIM
TUJUAN
-       Mahasiswa mengetahui cara pembuatan ekstrak untuk skrining Fitokimia.
-       Mahaiswa mengetahui cara identifikasi senyawa golongan alkoloid.
-       Mahasiswa mengetahui cara identifikasi senyawa golongan glikosida, saponin, triterpenoid, dan steroid.
-       Mahasiswa mengetahui cara identifikasi senyawa golongan flavonoid.
-       Mahasiswa mengetahui cara identifikasi senyawa golongan polifenol dan tanin.
-       Mahasiswa mengetahui cara identifikasi senyawa golongan antrakinon.

·               DASAR TEORI
Berbagai macam pendekatan dilakukan untuk mendapatkan produk bahan alam, dalam hal ini obat dari bahan alam yang memilki aktivitas biologis. Tujuan utama dari pencarian ini adalah untuk mendapatkan tanaman yang akan dikaji kandungan kimianya secara lebih mendalam. Pada dasarnya ada 2 metode untuk mendapatkan zat aktif secara bioligis dalam suatu tanaman yaitu dengan mencari zat aktif (senyawanya) ataupun dengan mencari efek biologis yang ditimbulkan oleh tumbuhan tersebut.
Salah  satu  pendekatan  untuk  penelitian  tumbuhan  obat  adalah  penapis senyawa  kimia  yang  terkandung  dalam  tanaman.  Cara  ini  digunakan  untuk mendeteksi  senyawa  tumbuhan  berdasarkan  golongannya.  Sebagai  informasi  awal dalam mengetahui  senyawa  kimia  apa  yang mempunyai  aktivitas  biologi  dari  suatu tanaman.  Informasi  yang  diperoleh  dari  pendekatan  ini  juga  dapt  digunakan  untuk keperluan  sumber  bahan  yang mempunyai  nilai  ekonomi  lain  seperti  sumber  tanin, minyak  untuk  industri,  sumber  gum,  dll.  Metode  yang  telah  dikembangkan  dapat mendeteksi  adanya  golongan  senyawa  alkaloid,  flavonoid,  senyawa  fenolat,  tannin, saponin, kumarin, quinon, steroid/terpenoid. (Teyler.V.E,1988)
1.  Alkaloid
a.  Pengertian alkaloid
 Alkaloid  merupakan  golongan  zat  tumbuhan  sekunder  yang terbesar.  Pada  umumnya  alkaloid  mencakup  senyawa  bersifat  basa  yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen, biasanya dalam gabungan, sebagai bagian  dari  sistem  siklik.  Alkaloid  seringkali  beracun  bagi  manusia  dan banyak  yang mempunyai  kegiatan  fisiologi  yang menonjol  yang  digunakan secara  luas  dalam  bidang  pengobatan. Alkoloid  biasanya  tanpa  warna, seringkali  bersifat  optis  aktif,  kebanyakan  berbentuk  kristal  tetapi  hanya sedikit yang berupa cairan ( misalnya nikotina pada suhu kamar ).
Prazat  alkaloid  yang  paling  umum  adalah  asam  amino,  meskipun sebenarnya  biosintesis  kebanyakan  alkaloid  lebih  rumit.  Secara  kimia, alkaloid  merupakan  suatu  golongan  heterogen.  Ia  berkisar  dari  senyawa sederhana  seperti  koniina,  yaitu  alkaloid  utama  Conium  maculatum  sampai pentasiklik seperti estrikhnina yaitu racun kulit strychnos.
Alkoloid,  sekitar  5500  telah  di  ketahui,  merupaan  golongan  zat tumbuhan  sekunder  yang  terbesar. Tidak  ada  satu  pun  istilah  alkoloid  yang memuaskan    tetapi pada umumnya alkoloid mencakup senyawa bersifat basa mengandung satu atau lebih atom nitrogen, biasanya dalam gabungan sebagai bagian  dari  sistem  siklik.  Alkoloid  sering  kali  beracun  bagi  manusia  dan banyak  yang  mempunyai  kegiatan  fisiologi  yang  menonjol  jadi  digunakan secara luas dalam bidang pengobatan. Alkoloid biasanya tanpa warna, sering kali bersifat  optis  aktif,  kebanyakan  berbentuk  kristal  tetapi  hanya  sedikit  yang berupa cairan (misalnya nikotina) pada suhu kamar . Uji sederhana tetapi yang sama sekali tidak satu  sempurna, untuk alkoloid dalam daun atau buah segar adalah  rasa  pahitnya  di  lidah.  Misalnya,  alkoloid  kinina  adalah  zat  yang dikenal paling pahit dan pada konsentrasi molar 1x 103  membeikan rasa pahit yang berarti. Amina tumbuhan  (misalnya  meskalina)  dan  basa  Purina  dan  pirimidina  (misalnya kafeina)  kadang-kadang  digolongkan  sebagai  alkoloid  dalam  arti  umum.
Banyak alkoloid bersifat terpenoid dan beberapa (misalnya solanina alkoloid – steroid kentang, Solanum  tuberosum)    sebaiknya  ditinjau dari  segi  biosintesis sebagai  terpenoid  termodifikasi.  Yang  lainnya  terutama  berupa  senyawa aromatik ( misalnya kolkisin, alkoloid tropolon umbi crocus musim gugur ) yang mengandung  gugus  basa  sebagai  gugus  rantai  samping. Banyak  sekali alkoloid  yang  khas  pada  suatu  suku  tumbuhan  atau  beberapa  tumbuhan sekerabat.  Jadi  nama  alkoloid  sering  kali  diturunkan  dari  sumber  tumbuhan penghasilnya,  misalnya  alkoloid  atropa  atau  alkoloid  tropana,  dan sebagainya. (Harbrone.J.B,1987)
Sebagian  besar  alkaloid  alami  yang  bersifat  sedikit  asam memberikan  endapan  dengan  reaksi  yang  terjadi  dengan  reagent  Mayer  (Larutan  Kalium Mercuri  Iodida);  reagent  Wangner  (larutan  Iodida  dalam Kalium  Iodida);  dengan  larutan  asam  tanat, reagent  Hager  (saturasi  dengan asam  pikrat);  atau  dengan  reagent  Dragendroff  (larutan  Kalium  Bismuth Iodida).  Endapan  ini  berbentuk  amorf  atau  terdiri  dari  kristal  dari  berbagai warna.  Cream  (Mayer), Kuning  (Hager),coklat  kemerah  – merahan  (Wagner dan Dragendroff).  Caffein  dan  beberapa  alkaloid  tidak menimbulkan  reaksi pengendapan.  Ketelitian  harus  dimulai  dari  ekstraksi  alkaloid  yang  diuji karena bahan akan membentuk endapan dengan protein. sebagian dari protein akan  membuat  tidak  larut  dari  bahan  yang  telah  diekstrak  oleh  proses epaporasi atau mungkin disebabkan  filtrat yang  terbongkar. Jika ekstrak asli telah  dikonsentrasi  ke  konsentrasi  rendah  akan membentuk  ekstrak  alkaloid yang  berbentuk  basa  dengan  pertolongan  suatu  pelarut  organik  kemudian dimasukan dalam  larutan asam encer (misalnya  : Tartrat), larutan haus bebas dari protein dan siap untuk dilakukan uji alkaloid. (Teyler.V.E,1988)
b.  Pereaksi Alkaloid
Untuk pereaksi Dragendrof dibuat dua  larutan persediaan  : (1) 0,6 g bismut subnitrat dalam 2 ml HCl pekat dan 10 ml air ; (2) 6 g Kalium iodida dalam 10 ml air. Larutan persediaan ini dicampur dengan 7 ml HCl pekat dan 15  ml  air.  Untuk  menyemprot  kertas  dengan  pereaksi  iodoplatinat,  10  ml larutan  platina  klorida  5%  dicampur  dengan  240 ml Kalium  iodide  2%  dan diencerkan dengan air sampai 500 ml. untuk menyemprot pelat, campurkan 10 ml  platina  klorida  5%,  5  ml  HCl  pekat,  dan  240  ml  Kalium  iodide  2%. (Teyler.V.E,1988)
c.  Klasifikasi alkaloid
Pada  bagian  yang  memaparkan  sejarah  alkaloid,  jelas  kiranya bahwa  alkaloid  sebagai  kelompok  senyawa,  tidak  diperoleh  definisi  tunggal tentang alkaloid. Sistem klasifikasi yang diterima, menurut Hegnauer, alkaloid dikelompokkan sebagai:
1)  Alkaloid Sesungguhnya 
    Alkaloid  sesungguhnya  adalah  racun,  senyawa  tersebut  menunjukkan aktivitas  fisiologi  yang  luas,  hampir  tanpa  terkecuali  bersifat  basa;  lazim mengandung Nitrogen dalam cincin heterosiklik ; diturunkan dari asam amino ;  biasanya  terdapat  “aturan”  tersebut  adalah  kolkisin  dan  asam  aristolokhat yang bersifat bukan basa dan  tidak memiliki cincin heterosiklik dan alkaloid quartener, yang bersifat agak asam daripada bersifat basa. 
2)  Protoalkaloid 
Protoalkaloid merupakan  amin  yang  relatif  sederhana  dimana  nitrogen dan  asam  amino  tidak  terdapat  dalam  cincin  heterosiklik.  Protoalkaloid diperoleh  berdasarkan  biosintesis  dari  asam  amino  yang  bersifat  basa. Pengertian  ”amin  biologis”  sering  digunakan  untuk  kelompok  ini.  Contoh, adalah meskalin, ephedin dan N,N-dimetiltriptamin. 
3)  Pseudoalkaloid
Pseudoalkaloid  tidak  diturunkan  dari  prekursor  asam  amino.  Senyawa biasanya  bersifat  basa.  Ada  dua  seri  alkaloid  yang  penting  dalam  khas  ini, yaitu  alkaloid  steroidal  (contoh:  konessin  dan  purin (kaffein). (Teyler.V.E,1988)
2.  Fenol
Senyawa  asam  fenolat  ada  hubungannya  dengan  lignin  terikat  sebagai ester  atau  terdapat  pada  daun  di  dalam  fraksi  yang  tidak  larut  dalam  etanol;  atau mungkin  terdapat  dalam  fraksi  yang  larut  dalam  etanol,  yaitu  sebagai  glikosida sederhana. Deteksi  asam  fenolat  dan  lignin dalam  jaringan  tumbuhan  Lignin  ialah polimer  fenol  yang  terdapat  dalam  dinding  sel  tumbuhan,  yang  bersama  selulosa, menyebabkan  kekakuan  dan  kekokohan  batang  tumbuhan. Lignin  terutama  terdapat pada tumbuhan berkayu karena sampai 30% bahan organik pepohonan terdiri atas zat ini.  Bila  dioksidasi  dengan  nitrobenzene,  lignin  menghasilkan    tiga  aldehida  fenol sederhana  yang  ada  kaitannya  dengan  asam  fenolat  tumbuhan umum. (Harbrone.J.B,1987)
3.  Tanin 
Tanin  terdapat  luas  dalam  tumbuhan  berpembuluh,  dalam  angiospermae terdapat  khusus  dalam  jaringan  kayu. Menurut  batasannya,  tanin  dapat  bereaksi dengan protein membentuk kepolumer mantap yang  tidak  larut dalam air. Dalam industri,  tanin  adalah  senyawa  yang  berasal  dari  tumbuhan,  yang  mampu mengubah  kulit  hewan  yang  mentah  menjadi  kulit  siap  pakai  karena kemampuanya menyambung silang protein.
Di dalam tumbuhan letak tanin terpisah dari protein dan enzim sitoplasma, tetapi  bila  jaringan  rusak,  misalnya  bila  hewan  memakanya,  maka  reaksi penyamakan  dapat  terjadi.  Reaksi  ini menyebabkan  protein  lebih  sukar  dicapai oleh  cairan  pencernaan  hewan. Pada  kenyataanya,  sebagian  besar  tubuhan  yang banyak  bertanin dihindari oleh  hewan pemakan  tumbuhan   karena  rasanya  yang sepat.  Kita  menganggap  salah  satu  fungsi  utama  tanin  dalam  tumbuhan  ialah sebagai penolak hewan pemakan tumbuhan.
Secara  kimia  terdapat  dua  jenis  utama  tanin  yang  tersebar  tidak merata dalam  dunia  tumbuhan. Tanin –terkondensasi  hampir  terdapat  semesta di dalam paku-pakuan dan gimnospermae, serta  tersebar  luas dalam angiospermae,  terutama pada  jenis  tumbuhan  berkayu.  Sebaliknya,  tanin  yang  terhidrolisiskan  penyebaranya terbatas pada tumbuhan berkeping dua. (Harbrone.J.B,1987) 
4.  Flavonoid
  Flavonoid  terdapat  dalam  tumbuhan  sebagai  campuran,  jarang  sekali dijumpai  hanya  flavonoid  tunggal  dalam  jaringan  tumbuhan.  Disamping  itu, sering  terdapat  campuran  yang  terdiri  atas  flavonoid  yang  berbeda  kelas. Penggolongan  jenis  flavonoid dalam  jaringan  tumbuhan mula – mula didasarkan pada  telaah  sifat  kelarutan  dan  reaksi  warna.  Kemudian  diikuti  dengan pemeriksaan  ekstrak  tumbuhan  yang  telah  dihidrolisis  secara kromatografi. (Harbrone.J.B,1987)
5.  Steroid dan Triterpenoid
Triterpenoid adalah  senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari  enam satuan  isoprene  dan  secara  biosintesis  diturunkan  dari  hidrokarbon  C 30  asiklik, yaitu  skualena. Triterpenoid dapat dipilah menjadi  sekurang – kurangnya empat golongan senyawa :  triterpena sebenarnya, steroid, saponin dan glikosida jantung. Kedua golongan yang  terakhir  sebenarnya  triterpena atau steroid   yang  terutama terdapat sebagai glikosida.
Sterol  adalah    triterpena  yang  kerangka  dasarnya  system  cincin siklopentana  perhidrofenantrena.  Dahulu    sterol  terutama  dianggap  sebagai senyawa satwa (sebagai hormone kelamin, asam empedu, dll), tetapi pada tahun – tahun terakhir ini makin banyak senyawa tersebut yang ditemukan dalam jaringan tumbuhan. (Harbrone.J.B,1987)
6.  Kuinon 
Kuinon adalah  senyawa berwarna  dan mempunyai kromofor dasar seperti kromofor  pada  benzokuinon,  yang  terdiri  atas  dua  gugus  karbonil  yang berkonjugasi  dengan  dua  ikatan  rangkap  karbon    karbon.  Untuk  tujuan identifikasi,  kuinon  dapat  dipilah  menjadi  empat  kelompok  :  benzokuinon, naftokuinon,  antrakuinon,  dan  kuinon  isoprenoid.  Tiga  kelompok  pertama biasanya terhidroklisasi dan bersifat senyawa fenol serta mungkin terdapat in vivo dalam bentuk gabungan dengan gula sebagai glikosida atau dalam bentuk kuinol.
  Untuk  memastikan  adanya  suatu  pigmen  termasuk  kuinon  atau bukan,  reaksi  warna  sederhan  masih  tetap  berguna.  Reaksi  yang  khas  ialah reduksi bolak balik yang mengubah kuinon menjadi senyawa tanwarna, kemudian warna kembali lagi bila terjadi oksidasi oleh udara. (Harbone.J.B, 1987)
Sistem KLT yang dianjurkan untuk golongan utama senyawa kimia tumbuhan. KLT merupakan sistem kromatografi yang pemakaiannya paling luas pada fitokimia karena dapat ditetapkan hampir pada setiap golongan senyawa kecuali pada kandungan yang sanga atsiri. Cara ini dapat dipakai pada pemeriksaan pendahuluan ekstrak kasar dari kebanyakaan senyawa dan juga sebagai cara pada pemisahan dan ekstrak pendahuluan.
Kenitu
Kingdom: Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom: Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi: Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas: Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub Kelas: Dilleniidae
Ordo: Ebenales
Famili: Sapotaceae
Spesies: Chrysophyllum cainito L.

Kenitu (Chrvsophvllum cainito L.), yang asli dari Amerika Tengah yang tealah dapat tumbuh secara lokal disekitar Jember, Jawa Timur. Tumbuhan daerah tropis yang berbentuk pohon, berumur menahun, tinggi 15-20 dapat mencapai ketinggian tidak melebihi dari 30 m yang selalu hijau dan tumbuh cepat, berakar tunggang dengan batang berkayu, silindris, tegak, warna cokelat, abu-abu gelap sampai keputihan.permukaan kasar berdaun tunggal, warna permukaan atas hijau bawah coklat, panjang 9-14 cm, lebar 3-5 cm, helaian daun agak tebal, kaku bentuk lonjong, ujung runcing, pangkal meruncing, tepi rata, pertulangan menyirip, tidak pernah meluruh bunga. Buah buni, bulat, warna hijau keputih-putihan, dengan biji hitam, pipih, panjang sekitar 1 cm, berkeping dua.
Data etnobotani menunjukkan komposisi obat seperti penyejuk pada pembengkakan laring dan pneumonia, sebagai terapi Diabetes Melitus dan pengobatan kanker yang diakibatkan oleh mekanisme radikal bebas.
Kandungan fitokimia dalam tumbuhan kenitu adalah polifenol. Pada sebuah penilitian buah segar kenitu yang diekstrak dengan methanol dan dipisahkan dengan heksana dan etliasetat. Fraksinasi larutan etil asetat menunjukkan aktifitas antioksidan yang tinggi pada 1,1-difenil-2-picrylhydrazyl (DPPH). Dari pengujian ini didapatkan 9 macam polifenol antioksidan yaitu catechin, epicatechin, gallocatechin, epigallocatechin, quercetin, quercitrin, isoquercitrin, myricitrin, dan asam galat.

·        ALAT DAN BAHAN
Latihan I (Pembuatan ekstrak untuk skrining fitokimia)
Alat       :      Erlenmeyer
                     Magnetik stirrer
                    Hot plate stirrer
                            Rotary evaporator
Bahan    :   ó 500 gram serbuk kering
                ó Etanol / metanol 80%

Latihan II (identifikasi senyawa golongan alkaloid)
Alat       :      Penangas air
                     Lempeng KLT
    Penotol mikro
    Kertas saring
    Gelas ukur
    Erlenmeyer
    Cawan porselen
    Batang pengaduk
    Corong kaca
    Tabung reaksi
    Pipet
    Chamber
       Bahan    :    ó  Ekstrak sebanyak 0,3 gram
     ó  HCl 2 N
     ó  0,3 gram NaCl
     ó  Kloroform bebas air
     ó  Etil asetat – metanol – air
     ó  Pereaksi dragendrof
     ó  Pereaksi mayer
     ó  Pereaksi wagner
     ó  NH4OH 28%
     ó  Kiesel gel GF 254

Latihan III (identifikasi glikosida saponin, triterpenoid dan steroid)
Alat       :      Tabung reaksi
                            Corong
                            Kapas basah
                            Penangas air
                            Penotol mikro
                            Lempeng KLT
                            Gelas ukur
                            Pipet tetes
    Chamber
    Erlenmeyer
Bahan    :    ó Air suling
ó H2SO4 pekat
ó Kiesel gel GF 254
ó Anisaldehida asam sulfat
ó Antimon klorida
ó Ekstrak sebanyak 0,3 gram
ó Etanol
ó Asam asetat anhidrat
ó HCl 2 N
ó n-heksana-etil asetat


Latihan IV (identifikasi senyawa golongan flavonoid)
Alat       :      Tabung reaksi
                            Penangas air
                            Lempeng KLT
                            Penotol mikro
                            Gelas ukur
                            Pipet tetes
                            Vortex
    Chamber
    Erlenmeyer
Bahan    :    ó Ekstrak
ó n-heksana
ó Mg
ó Kiesel gel GF 254
ó Kloroform-etil asetat
ó NaCl 10%-gelatin
ó FeCl3
ó Pereaksi FeCl3

Latihan V (identifikasi senyawa golongan polifenol dan tanin)
Alat       :      Pipet tetes
    Kertas saring
    Tabung reaksi
    Lempeng KLT
    Penotol mikro
    Gelas ukur
    Corong kaca
    Vortex
    Chamber
    Erlenmeyer
Bahan    :    ó Ekstrak
ó Aquadest panas
ó Kiesel gel GF 254
ó Kloroform-etil asetat
ó NaCl 10%-gelatin
ó FeCl3
ó Peraksi FeCl3

Latihan VI (identifikasi senyawa golongan antrakinon)
Alat       :      Corong
    Tabung reaksi
    Kertas saring
    Penangas air
    Lempeng KLT
    Penotol mikro
    Gelas ukur
    Pipet tetes
    Vortex
    Chamber
    Erlenmeyer
Bahan    :    ó       Ekstrak
ó Toluena
ó KOH 5N
ó Kiesel gel GF 254
ó Toluena-etil-asam asetat
ó KOH 10% dalam metanol
ó Aquadest
ó Ammonia
ó H2SO4

·         CARA KERJA
Pembuatan Ekstrak Untuk Skiring Fitokimia
 








 












Identifikasi senyawa golongan alkaloid
1.      Penyiapan sampel








2.      Reaksi Pengendapan














3.      Kromatografi Lapis Tipis


Identifikasi glikosida saponin, triterpenenoid dan steroid
1.      Uji Buih












2.      Uji Salkowski

Identifikasi Sapogenin Steroid atau Triterpenoid secara KLT
















Identifikasi Terpenoid atau Steroid Bebas secara KLT


















Identifikasi Senyawa Golongan Flavonoid
1.      Reaksi Warna
 












a)      Uji Bate – Smith dan Metclaft
Flowchart: Alternate Process: Bila perlahan – lahan menjadi warna merah terang atau ungu menunjukkan adanya senyawa leukoantosianin ( dibandingkan dengan blanko )
 














b)     Uji Wilstater
Flowchart: Alternate Process: Larutan IIIA sebagai blanko
 

 

















2.      Kromatografi Lapis Tipis
 


























Identifikasi Senyawa Golongan Polifenol dan Tanin
1.    Reaksi Warna
0,3 gram ekstrak ditambah dengan aquades panas
 

Aduk biarkan ad temperature kamar
 


Tambahkan 3-4 tetes 10% NaCl
 

aduk, saring
 

filtrat dibagi 3 bagian masing-masing ± 4 mL
yaitu Larutan IVA, IVB, IVC

a)    Uji Ferriklorida
Larutan IVC ditetesi FeCl3
 

Amati perubahan warna yang terjadi
 


Warna hijau kehitaman menunjukkan adanya tannin
 


Jika pada penambahan gelatin dan NaCl tidak timbul
endapan tetapi setelah Ditambahkan dengan FeCl3
 




Terjadi perubahan warna merah menjadi
                   biru hingga hitam menunjukkan adanya senyawa polifenol
 





FeCl3 positif, uji gelatin positif    : tannin (+)
FeCl3 positif, uji gelatin negatif   : polifenol (+)
FeCl3 negatif                                 : poifenol (-),
                                                                                 tannin
b)      Uji Gelatin
Larutan IVA sebagai blanko
 


Larutan IVB


Ditambah dengan sedikit larutan gelatin dan 5 mL
NaCl 10%

Endapan putih menunjukkan adanya tanin


2.    Kromatografi Lapis Tipis
                 Larutan IVC
 

                Pemeriksaa KLT
Fase diam              : Kiesel Gel GF 254
Fase gerak              : Kloroform – etil asetat (1:9)
Penampak noda     :  pereaksi FeCl3


              Timbul warna hitam menunjukkan adanya polifenol
 dalam sampel





Identifikasi Senyawa Golongan Antrakinon
1.    Reaksi warna
a)    Uji Borntrager
0,3 gram ekstrak diekstraksi dengan 10 mL air suling
 

Saring, filtrate diekstraksi dengan 3 mL toluene
dalam corong pisah

Dilakukan 2 kali
 

Fase toluene dikumpulkan, dibagi menjadi 2 bagian:
Larutan VA, VB

Larutan VA sebagai blanko
 

Larutan VB ditambah dengan ammonia dan kocok
 

Warna merah menunjukkan adanya senyawa antrakinon


b)   Uji modifikasi Borntrager
0,3 gram ekstrak ditambah dengan 1 mL KOH 5N
dan 1 mL H2SO4 encer
 


Panaskan dan saring
 

Filtrat ditambah asam asetat glasial
 

Diekstraksi dengan toluena
 



Fase toluena diambi dan dibagi menjadi 2:
Larutan VIA, VIB

Larutan VIA sebagai blanko

Larutan IVB ditambah ammonia
 

Warna merah arau merah muda pada lapisan alkalis
menunjukkan adanya antrakinon


2.    Kromatografi Lapis Tipis
Sampel ditotolkan pada fase diam
 

Pemeriksaan KLT
Fase diam            : Kiesel Gel GF 254
Fase gerak           : Toluena – etil – asam asetat (75:24:1)
Penampak noda   :  larutan 10% KOH dalam methanol
 


  Timbul noda warna kuning, kuing coklat, merah ungu
  atau hijauungu menunjukkan adanya senyawa antrakinon









·        HASIL PENGAMATAN
·                    ALKALOID
PEREAKSI
HASIL
Mayer
(-) tidak terbentuk endapan/kekeruhan
Wagner
(-) tidak terbentuk endapan/kekeruhan
Uji KLT
(-) tidak tampak noda  jingga

 













Gambar. Reaksi pengendapan (Penambahan larutan mayer + Wagner)



·                    TRITERPENOID, STEROID, DAN SAPONIN
·                    Identifikasi Saponin dengan Uji Buih :

-terjadi buih yang stabil selama 30 menit dengan 3,5 cm di atas permukaan cairan. Hasilnya adalah positif (+)








 













Gambar 1. Hasil uji buih setelah 30 menit

·                    Identifikasi Steroid dengan Reaksi Warna (Uji Salkowski) :
 













               Gambar 2a. Uji Salkowski                             Gambar 2b. Uji Salkowski


-Hasilnya larutan ekstraksi terbentuk cincin, maka ekstrak mengandung steroid atau positif (+).
           
·                    Identifikasi Sapogenin Steroid atau Triterpenoid secara KLT :

-hasilnya adalah pada lempeng terbentuk noda berwarna ungu,
Tinggi noda dari garis penotolan (h) = 7.7cm, Rf= 7.7/8=0,9625
jadi ekstrak mengandung sapogenin ditunjukkan dengan warna dari anisaldehida asam sulfat (+)

·                    Identifikasi Terpenoid atau Steroid Bebas secara KLT
           
 -hasilnya adalah tidak timbul warna ungu pada sampel. Jadi ekstrak tidak mengandung terpenoid/steroid bebas.

·                    FLAVONOID
·                    Reaksi warna
·                    Uji Bate-Smith dan Metcalf menunjukkan warna merah bening sehingga positif mengandung leukoantosianin

 














Gambar 3. Uji Bate-Smith warna merah terang

·                    Uji Wilstater menunjukkan 3 lapisan warna, yaitu merah tua, merah pucat dan merah jingga sehingga positif mengandung flavonol, flavonon, dan flavon.





 










      



    Gambar 3a. saat penambahan air suling                    Gambar 3b. Penambahan Butanol




 













                                                                   Gambar 3c.  flavonoid

·        KLT menunjukkan warna kuning dengan tinggi noda 7,6
Rf= 7,6/8= 0,95 sehingga positif mengandung flavonoid.


 











Gambar KLT Flavonoid

·                    POLIFENOL DAN TANIN
Pengujian
Hasil
Uji Ferriklorida
Tanin (+), polifenol (+) ditandai dengan perubahan warna menjadi hijau kehitaman
Uji Gelatin
Tanin (-), tidak ada perubahan warna.
Kromatografi
(+) Timbul warna hitam dengan Rf 2.7/8= 0.3375

 










           Gambar 4a. Uji Ferriklorida       Gambar 4a. Blanko Gelatin       Gambar 4b. Uji Gelatin

·                    ANTRAKINON

·                    Uji Borntrager menunjukkan hasil warna bening atau tidak mengalami perubahan warna sehingga negatif mengandung antrakinon.
 
















               Gambar 5a. Uji Borntrager                       Gambar 5b. Uji Borntrager Negatif

·                    Uji Modifikasi Borntrager menunjukkan hasil warna bening atau tidak mengalami perubahan warna sehingga negatif  mengandung antrakinon.

 












Gambar 6a. Blanko (kiri) dan Penambahan Amonia (kanan)

·                    KLT  dengan penampak noda larutan 10% KOH dalam methanol menunjukkan hasil warna kuning dengan Rf 2.2/8= 0.275 dan Rf 5.4/8= 0.675. sehingga positif mengandung antrakinon.



 








Gambar KLT Polivenol

















·        PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini, kita akan membahas tentang skrining fitokimia, dimana nantinya akan diidentifikasi beberapa golongan senyawa dari suatu ekstrak tumbuhan yang tidak diketahui identitasnya. Dalam praktikum ini kita akan mengidentifikasi senyawa golongan alkaloid, flavonoid, glikosida saponin, triterpenoid dan steroid, polifenol dan tannin serta golongan antrakinon.

Identifikasi Senyawa Golongan Alkaloid
Alkaloid sekitar tahun 5500 telah diketahui, merupakan golongan zat tumbuhan sekunder yang terbesar. Tidak ada satupun istilah alkaloid yang memuaskan, tetapi pada umumnya alkaloid mencakup senyawa yang bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen, biasanya dalam gabungan, sebagai dari system siklik. Alkaloid sering beracun bagi manusia dan banyak yang mempunyai kegiatan fisiologi yang menonjol, jadi digunakan secara luas dalam bidang pengobatan. Alkaloid biasanya tidak berwarna, seringkali bersifat optic aktif. Kabanyakan berbentuk Kristal tetapi hanya sedikit yang berupa cairan (misalnya nikotina) pada suhu kamar.
Menurut Hegnauer bahwa “alkaloid adalah zat yang sedikit atau lebih toksik yang memiliki aktivitas utama terhadap system saraf pusat, memiliki karakter dasar, mengandung nitrogen heterosiklik dan disintregasi dalam tanaman dari asam amino atau turunannya. Keberadaannya terdistribusi dalam kingdom tumbuhan.” Fungsi alkaloid dalam tumbuhan masih sangat kabur, meskipun masing-masing senyawa telah dinyatakan sebagai pengatur tumbuh, atau penghalau atau penarik serangga. Teori yang menyatakan bahwa alkaloid merupakan bentuk penyimpan nitrogen dalam tumbuhan, sekarang ini tidak lagi diterima.
Alkaloid biasanya diperoleh dengan cara mengekstraksi bahan tumbuhan memakai air yang diasamkan dan melarutkan alkaloid sebagai garam atau bahan tumbuhan dapat dibasakan dengan natrium karbonat dan sebagainya dan basa bebas diekstraksi dengan pelarut organic seperti kloroform, eter dan sebagainya. Beberapa alkaloid yang dapat menguap seperti nikotina dapat dimurnikan dengan cara penyulingan uap dari larutan yang dibasakan. Larutkan dalam air yang bersifat asam dan mengandung alkaloid dapat dibasakan dan alkaloid diekstraksi dengan pelarut organic sehingga senyawa netral dan asam yang mudah larut dalam air tertinggal dalam air.
Bukti kualitatif untuk menunjukkan adanya alkaloid dan pencirian kasar dapat diperoleh dengan menggunakan berbagai pereaksi alkaloid. Beberapa pereaksi yang digunakan adalah pereaksi Mayer, pereaksi Wagner, pereaksi Asam Silikotungsat 5%, pereaksi Asam Tanat 5%, pereaksi Dragendorff, perekasi iodoplatinat dan larutan asam pikrat jenuh.
Dalam praktikum yqang kami lakukan dalam pengidentifikasian golongan senyawa alkaloid dengan menggunakan 2 cara yaitu reaksi pengendapan dan kromatografi Lapis Tipis.
a.    Reaksi Pengendapan
Ekstrak sebanyak 0.32 gram ditambah 5 mL HCl 2 N, dipanaskan di atas penangas air selama 2 – 3 menit, sambil diaduk. Setelah dingin ditambah 0.3 gram NaCl, diaduk rata kemudian disaring. Filtrate yang diperoleh ditambah 5 mL HCl 2 N dan dibagi menjadi 3 bagian yang sama yaitu larutan A, B dan C. Penambahan NaCl ini bertujuan untuk mengendapkan protein yang dapat menyebabkan terjadinya positif palsu. Dalam penambahan NaCl ini terjadi salting out dari protein. Dalam reaksi pengendapan alkaloid ini digunakan 2 macam peraksi, yaitu :
1)      Pereaksi Mayer
Pereaksi Mayer ini mengandung Kalium Tetraiodomerkurat dan paling banyak digunakan untuk mengidentifikasi alkaloid karena pereaksi ini memberikan endapan dengan hamper semua alkaloid. Larutan A yang ditambah dengan + 8 tetes pereaksi Mayer ternyata tidak menimbulkan endapan (negatif). Hal ini berarti bahwa dalam sampel tidak mengandung alkaloid.
2)      Pereaksi Wagner
Peraksi wagner ini mengandung iodium dalam Kalium Iodida. Pereaksi ini juga paling sering digunakan untuk mengidentifikasi senyawa golongan alkaloid. Larutan B yang ditambah dengan + 3 tetes pereaksi wagner menghasilkan larutan yang tidak mengandung endapan. Hal ini menandakan bahwa dalam sampel tidak terdapat endapan.
b.   Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi Lapis Tipis merupakan suatu metode pemisahan suatu senyawa berdasarkan pada sifat polar dan nonpolar. Dalam KLT ada yang bertindak sebagai fase diam dan fase gerak. Fase diam pada identifikasi ini adalah lempeng Kiesel gel GF 254 yang bersifat polar, sedangkan fase gerak terdiri dari campuran Etil aseta – Metanol – Air dengan perbandingan ( 9 : 2 : 2 ) yang bersifat non polar.
Awalnya larutan IC dari hasil pembagian pada preparasi sampel ditambah dengan NH4OH 28% sampai larutan menjadi basa, kemudian diekstraksi dengan 5 mL kloroform bebas air lalu disaring. Tujuan penambahan NH4OH pada sampel IC adalah untuk memberikan suasana basa pada sampel. Kebanyakan alkaloid bersifat basa yang tergantung pada pasangan electron pada nitrogen. Jika gugus fungsional yang berdekatan dengan nitrogen bersifat melepaskan electron, maka ketersediaan electron pada nitrogen naik dan senyawa bersifat basa. Sebaliknya jika gugus fungsional yang berdekatan bersifat menarik electron maka ketersediaan pasangan electron berkurang dan pengaruh yang ditimbulkan alkaloid dapat bersifat netral atau bahkan bersifat sedikit asam.
Tujuan eksitasi koroform adalah agar senyawa golongan alkaloid dapat larut dalam kloroform dan terpisah atau terhindar dari zat-zat lain yang dapat mengganggu proses identifikasi dan tidak larut dalam kloroform. Filtrate dari proses penyaringan yang berada pada fase kloroform diuapkan sampai kering. Selanjutnya hasil penguapan dilarutkan dalam methanol dan siap untuk pemeriksaan dengan KLT. Sampel ditotolkan pada lempeng KLT (+ 2 kali penotolan) dengan menggunakan pipa kapiler. Setelah itu dieluasi dengan eluen yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Setelah proses eluasi selesai maka dilakukan penyemprotan larutan penampak noda pada lempeng. Pereaksi penampak noda yang menunjukkan adanya alkaloid adalah menggunakan pereaksi Dragendorft.
Ketika pereaksi warna disemprotkan pada lempeng KLT pada awal penotolan dan daerah pergerakan eluen dari sampel yang dianalisis tidak terlihat adanya warna jingga yang menunjukkan adanya alkaloid dalam ekstrak. Dari hasil penampakan spesifik yang menunjukkan tidak adanya warna jingga pada lempeng KLT maka dapat diketahui bahwa sampel ekstrak tumbuhan yang diberikan tidak mengandung senyawa golongan alkaloid.


Identifikasi Senyawa Golongan Terpenoid, Triterpenoid, Sapogenin Steroid dan Steroid Bebas
Senyawa terpenoid berasal dari molekul isoprene CH2=C(CH3)-CH=CH2 dan kerangka karbonnya dibangun oleh penggabungan dua atau lebih satuan C5 ini. Lalu senyawa terpenoid dipilah-pilah menjadi beberapa golongan berdasarkan jumlah satuan yang terdapat dalam senyawa tersebut. Terpenoid terdiri dari beberapa macam senyawa, mulai dari komponen minyak atsiri yaitu monoterpen dan seskuiterpen yang mudah menguap (C10 dan C15). Diterpen yang lebih sukar menguap (C20). Senyawa tidak menguap yaitu triterpenoid dan sterol (C30) serta pigmen karotenoid (C40).
Secara kimia terpenoid umumnya larut dalam lemak dan terdapat pada sitoplasma sel tumbuhan. Kadang minyak atsiri terdapat di sel kelenjar khusus pada permukaan daun dan kromoplast di dalam bunga. Biasanya terpenoid diekstraksi dari jaringan tumbuhan dangan eter, eter minyak bumi atau kloroform dan dapat dipisahkan secara KLT pada silica gel. Tapi seringkali ada kesulitan waktu mendeteksi dalam skala mikro karena kebanyakan senyawanya tidak berwarna dan tidak ada pereaksi kromogenik yang peka. Untuk itu, dilakukan penyemprotan dengan anisaldehid asam sulfat lalu dipanaskan untuk menampakkan noda.
Senyawa triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari 6 satuan isoprene dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik yaitu skualena. Triterpenoid dapat dipilih menjadi 4 golongan senyawa triterpena sebenarnya, steroid, saponin dan glikosida jantung. Saponin dan glikosida jantung merupakan triterpena atau steroid yang terdapat sebagai glikosida. Pada pemeriksaan triterpen harus dilakukan hidrolisis untuk membebaskan aglikon bila ada glikosida. KLT dilakukan pada silica gel memakai pengembang n-heksana : etilasetat (4:1) dengan pendeteksi antimony klorida dalam CHCl3 atau anisaldehid asam sulfat yang dipanaskan. Beberapa campuran triterpena tidak mudah dipisahkan dengan cara trersebut, misalnya amirin dan amirin hanya dapat dipisahkan dengan baik bila dikromatografi memakai n-butanol dan NH4OH 2M (1:1).
Banyak terpenoid dan steroid alcohol terdapat di alam bukan sebagai alcohol bebas tapi sebagai glikosida. Namun senyawa tersebut telah digolongkan menjadi glikosida tertentu yaitu steroid, saponin, glikosida jantung dan lain-lain. Di alam dikenal dua jenis saponin yaitu glikosida triterpenoid alcohol dan glikosida struktur steroid tertentu yang mempunyai rantai samping spiroketal. Kedua jenis saponin ini larut dalam air dan etanol, namun tidak dalam eter. Aglikonnya disebut sapogenin yang diperoleh dari hidrolisis dalam suasana asam atau menggunakan enzim dan tanpa bagian gula. Untuk uji sapogenin ekstrak dihidrolisis dengan HCl selama 2-6 jam, dinetralkan dan lakukan ekstraksi dengan n-heksana larutan dipekatkan lalu di KLT pada silica gel memakai pengembang etil asetat dan n-hekasana (1:4). Selanjutnya sapogenin dideteksi berupa bercak merah jambu setelah plat KLT disemprot dengan antimony klorida dalam HCl pekat atau dengan anisaldehid asam sulfat dan dipanaskan. Sapogenin yang berlaman tidak mudah dipisahkan dengan KLT. Missal, memisahkan diosgenin dari yamogenin diperlukan metode pengembangan sinambung memakai metil diklorida dan eter (4:1) selama 8 jam.
Steroid adalah triterpen yang kerangka dasarnya system cincin sklopentana perhidrofenantrena. Steroid umumnya berada dalam bentuk bebas sebagai glikosida sederehana. Untuk pendeteksian steroid dengan metode KLT cukup dengan melarutkannya dengan etanol lalu bercak nodanya disemprot dengan anisaldehid asam sulfat dan dipanaskan. Jika ekstrak positif mengandung steroid, maka akan timbul noda merah uingu atau ungu.
Pada praktikum kali ini, kami menggunakan beberapa uji antara lain :
a.    Reaksi Uji Buih
Pada metode identifikasi menggunakan uji buih yaitu dengan cara memasukkan + 0.3 gram dalam tabung reaksi kemudian ditambahakan air suling 10 mL, kocok selama 30 detik. Jika terjadi buih yang stabil selama lebih dari 30 menit dengan tinggi 3 cm diatas permukaan larutan pada tabung reaksi maka ekstrak yang kita uji mengandung saponin. Pada sampel yang diidentifikasikan positif mengandung buih stabil lebih dari 30 menit dengan tinggi + 3,5 cm di atas permukaan cairan. Hal ini menunjukkan bahwa sampel yang diujikan mengandung saponin.
b.    Reaksi Uji Salkwoski
Pada uji Salkoswki, memasukkan 0.3 gram ekstrak dalam tabung reaksi yang dilarutakan dalam 15 mL etanol. Tujuannya adalah untuk memisahkan gugus steroid dengan gugus senyawa lain. Digunakan etanol dikarenakan etanol merupaka pelarut yang universal karena dapat memisahkan senyawa dari yang bersifat polar sampai non polar. Selain itu, etanol dapat memisahkan komponen steroid secara optimal, aman dalam pemakaian, tidak merusak komponen senyawa, tidak berbahaya bagi lingkungan, oekonomis serta mudah didapatkan. Setelah larutan ekstrak homogeny, campuran dibagi menjadi 3 bagian yaitu IIA, IIB dan IIC. Larutan IIA digunakan sebagai blanko, IIC ditambahakan 1-2 mL H2SO4 pekat melalui dinding tabung reaksi. Tujuan penambahan ini untuk memutuskan ikatan gula pada senyawa. Jika ikatan gula terlepas maka adanya steroid bebas pada sampel akan ditandai dengan adanya cincin yang berwarna merah. Apabila hal ini tidak muncul maka tidak mengandung steroid bebas. Pada ekstrak yang didiujikan positif mengandung steroid. Hal in i ditandai adanya cincin berwarna merah.
c.    Reaksi Uji KLT Sapogenin/triterpenoid
Dalam proses skrining sapogenin steroid dengan menggunakan KLT, pertama-tama kami menambahkan ektrak yang telah dimasukkan dalam tabung reaksi dengan HCl pekat kemudian dipanaskan dengan heater diluar ruangan karena HCl pekat bersifat korosif, selama 2 jam. Penambahan ini bertujuan untuk membebaskan aglikonnya (sapogenin) dari suatu ikatan glikosida. Sapogenin merupakan salah satu bentuk dari saponin yang terikat atau membentuk ikatan glikosida dengan senyawa lainnya. Sedangkan fungsi dari pemanasan selama 2 jam adalah untuk membantu dan mempercepat putusnya (hidrolisis) sapogenin dari ikatan glikosidanya.
Setelah dilakukan pemanasan  selama 2 jam, maka hasil hidrolisis ekstrak tersebut didinginkan kemudian ditambahkan dengan ammonium. Sapogenin bersifat asam, penambnahan ini mempunyai sifat basa yang akan menetralkan larutan. Setelah dinetralkan, dilakukan ekstraksi dengan menggunakan n-heksana sebanyak 3 kali. Tujuan dari pengekstrakan ini adalah untuk memisahkan sapogenin dan senyawa lainnya. Dalam pengekstrakan tersebut akan terbentuk 2 lapisan. Lapiasan yang diambil adalah lapisan n-heksana, karena sapogenin cenderung larut dalam n-heksana. Kemudian dilakukan penguapan untuk menghilangkan n-heksana tadi. Kemudian dilakukan penotolan sampel ke lempeng KLT. Dengan fase gerak n-heksana dan etil asetat. Melihat bahan yang digunakan dalam fase diam dan fase geraknya, proses KLT yang kita gunakan ini adalah normal fase, karena fase diam yang kita gunakan bersifat polar sedangkan fase geraknya bersifat nonpolar.
Setelah proses eluasi selesai maka lempeng dikeringkan kemudia disemprot dengan penampak noda anisaldehid asam sulfat. Jika terdapat penamapakan noda berwarna ungu mengidentifikasi bahwa sampel mengandung sapogenin dan dapatr diukur besarnya Rf. Pada sampel ekstrak mengandung sapogenin steroid/triterpenoid. Hal ini ditunjukkan dengan adanya noda warna ungu dengan tinggi noda 7,7 cm dan Rf 0,96.
d.   Identifikasi Terpenoid atau Steroid Bebas secara KLT
Uji kandungan steroid atau terpenoid bebas dalam ekstrak simplisia dilakukan dengan menggunakan kromatograrfi lapis tipis. KLT merupakan metode kromatografi yang paling sederhana. Fase diam yang digunakan berupa lapisan tipis dan fase gerak berupa cairan. Bercak atau noda yang dihasilkan ditandai, jika tidak tampak dapat dialkukan penyemprotan dengan pereaksi penampak noda tertentu. Metode termudah adalah dengan menggunakan nilai Rf yaitu perbandingan jarak tepuh noda dengan jarak tempuh eluen dalam sistem kromatografi.
Pertama – tama ekstrak ditambah dengan beberapa tetes etanol, sehingga didapat fase organik. Etanol dipilih katrena secara umum etanol merupakan pelarut yang dianggap dapat melarutkan seluruh golongan metabolit sekunder, termasuk terpenoid dan steroid bebas. Dalam identifikasi ini, tidak dilakukan proses hidrolisis karena bentuk terpenoid dan steroidnya adalah bentuk bebas, tidak memiliki ikatan glikosida seperti pada sapogenin steroid atau triterpenoid yang sebelum diidentifikasi harus diputus terlebih dahulu ikatannya.
Langkah selanjutnya, fase organik ditotolkan ± 4 μl pada lempeng KLT, dalam praktikum kali ini digunakan Kiesel Gel GF 254 sebagai fase diamnya. Kemudian lempeng KLT diproses dalam chamber yang berisi eluen yaitu n-heksana – etil asetat ( 4 : 1 ) sebagai fase gerak. Pemilihan eluen dengan komposisi tersebut berdasarkan kemampuannya untuk meminimumkan pengotor dan menghasilkan noda yang terpisah dengan baik. Setelah eluen mencapai batas elusi, lempeng KLT kemudian dikeringkan. Lempeng disemprot dengan pewarna noda anisaldehid asam sulfat dan kemudian dipanaskan. Adanya terpenoid atau steroid bebas ditunjukkan dengan terjadinya warna merah ungu, atau ungu. Noda pada lempeng KLT berwarna ungu, hal tersebut menunjukkan bahwa ekstrak simplisia mengandung terpenoid atau steroid bebas.
Dari hasil praktikum yang telah dilakukan didapatkan bahwa pada lempeng KLT tidak didapatkan hasil berwarna merah ungu. Hal tersebut menunjukkan bahwa ekstrak yang diidentifikasi tidak mengandung terpenoid atau steroid bebas.Identifikasi Senyawa Golongan Flavonoid
Flavonoid terutama berupa senyawa yang larut dalam air, dapat diekstraksi dengan etanol 70% dan tetap ada lapisan air setelah ekstrak ini di kocok dengan eter. Flavonoid berupa senyawa fenol, karena itu warnanya berubah bila ditambahkan  basa atau amoniak. Jadi senyawa ini mudah dideteksi pada kromatogram atau dalam larutan.
Penggolongan jenis flavonoid dalam jaringan tumbuhan mula – mula didasarkan kepada telaah sifat kelarutan dan reaksi warna. Kemudian diikuti dengan pemeriksaan ekstrak tumbuhan yang telah dihidrolisis, secara kromatografi satu arah, dan pemeriksaaan ekstrak etanol secara dua arah. Akhirnya flavonoid dapat dipisahkan dengan cara kromatografi. Komponen masing – masing diidentifikasi dengan membandingkan kromatografi dan spektrum, dengan memakai senyawa pembanding yang sudah dikenal.
Pada uji flavonoid, yang pertama dilakukan adalah uji reaksi warna. Reaksi warna diawali dengan mengekstraksi ekstrak dengan n-heksana berkali – kali sampai ekstrak n-heksana tidak berwarna. Hal ini untuk memisahkan senyawa – senyawa lain yang mengganggu pengidentifikasian flavonoid. Kemudian residu dilarutkan dalam etanol yang merupakan pelarut universal yang juga dapat melarutkan flavonoid. Larutan ini dibagi menjadi 4 bagian yang digunakan untuk blanko, uji bate-smith dan metclaft, uji wilstaterdan uji kromatografi lapis tipis (KLT), yaitu IIIA, IIIB, IIIC, dan IIID.
Pada uji bate-smith dan metclaft larutan IIIB ditambahkan dengan 0,5 mL HCl pekat untuk menghidrolisis dan memutus ikatan glikosoda. Hidrolisis ini untuk menghidrolisis antosianin   menjadi aglikon antosianin, yaitu antosianidin. Tetapi  tidak ada perubahan warna yang terjadi. Kemudian larutan tersebut dipanaskan diatas penangas air untuk mempercepat terjadinya hidrolisis. Setelah itu, diamati perubahan warna yang terjadi.
Dari hasil praktikum ini didapatkan warna merah. Hal itu menunjukkan bahwa ekstrak D mengandung leukoantosianin, dimana adanya leukoantosianin ditunjukkan dengan adanya warna merah terang atau ungu.
Selanjutnya pada uji wilstater, larutan IIIC ditamabah 0,5 mL HCl pekat dan 4 potong magnesium. Penambahan ini untuk reaksi reduksi menjadikan suatu flavonol, flavanon, flavonon dan xanton. Penambahan asam akan menyebabkan perubahan warna ketika reduksi berlangsung. Kemudian larutan tersebut diencerkan dengan air suling dan ditambah dengan butanol sehingga terbentuk 2 lapisan antara larutan fase butanol yang ada pada bagian bawah. Diamati warna yang terjadi diantara kedua cairan (pada tiap lapisan). Tetapi tidak terjadi perubahan warna dan dapat dikatakan bahwa ekstrak D tidak mengandung flavonol, flavon atau flavonon.

Selanjutnya dilakukan uji KLT, dengan fase diam kiesel gel GF 254, fase gerak butanol-asam asetat glasial-air ( 4 : 1 : 5 ) dengan penampak noda uap amoniak. Larutan IIID ditotolkan pada lempeng sebanyak 4 μl atau sampai totolan berwarna, tetapi tidak sepekat warna ekstrak. Kemudian lempeng dieluasi dalam chamber, ditunggu hingga garis batas pada lempeng. Kemudian diangin – anginkan dan diuapkan diatas uap amoniak sampai terbentuk warna kuning yang segera hilang (reversible).Tetapi pada percobaan yang telah dilakukan, tidak terdapat warna kuning pada lempeng KLT. Sehingga didapatkan bahwa ekstrak D tidak mengandung flavonoid. 
Keganjilan pada beberapa uji ini adalah uji reaksi warna bate-smith dan metclaf menunjukkan hasil positif dan pada uji wilstater dan uji KLT menunjukkan hasil yang negatif.
Hal ini dimungkinkan terjadi reaksi yang menyebabkan terjadinya positif palsu. Adanya positif palsu ini mungkin disebabkan karena hidrolisis yang kurang sempurna atau reduksi magnesium yang kurang, serta kurangnya pembentukan pigmen warna. Sehingga tidak dapat memberikan warna yang sesuai pada uji wilstater. Dan pada uji KLT dimungkinkan masih ada pengganggu sehingga tidak memunculkan hasil yang positif.

Identifikasi Senyawa Golongan Polifenol dan Tanin
Senyawa polifenol adalah suatu senyawa yang berasal dari tumbuhan, dimana salah satu cirinya adalah mengandung cincin aromatik yang tersubstitusi oleh dua atau lebih gugus fenol. Dua gugus fenol, hidrolisis dan terkondensasi terdiri dari tanin yang merupakan suatu zat yang penting secara ekonomi sebagai agen untuk menghaluskan kulit dan juga penting untuk tujuan kesehatan. Baru – baru ini ditemukan adanya fakta – fakta yang mendukung nilai potensialnya sebagai sitotoksik dan atau sebagai agen antineoplastic.
Tanin dapat berfungsi sebagai astringent dan memiliki kemampuan untuk menyamak kulit. Secara kimia, tanin adalah ester yang dapat dihidrolisis oleh pemanasan dengan larutan asam sampai menghasilkan senyawa fenol, biasanya merupakan derivate atau turunan dari asam garlic dan gula.
Untuk identifikasi senyawa golongan polifenol dan tanin dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu dengan cara reaksi warna dan juga melalui kromatografi lapis tipis.  
Pada identifikasi senyawa golongan polifenol dan tanin yang pertama dilakukan adalah dengan mencampurkan ekstrak sebanyak 0,3 gram dengan 10 ml aquadest panas. Proses ini dilakukan untuk mempercepat reaksi dengan adanya pemanasan. Kemudian larutan tersebut diaduk dan dibiarkan sampai suhu kamar. Kemudian ditambahkan 4 tetes 10% NaCl, kemudian diaduk dan disaring. Penambahan NaCl bertujuan untuk menghilangkan pengotor dan protein, sehingga mencegah terjadinya negatif palsu pada uji warna. Filtrat kemudian dibagi menjadi tiga bagian masing – masing ± 4 ml dan disebut sebagai larutan IVA, IVB, dan IVC.
Kemudian dilakukan uji ferriklorida, yaitu larutan IIIA digunakan sebagai blanko dan larutan IIIC yang ditambahkan dengan beberapa tetes ferriklorida (FeCl3) ± 2-3 tetes maka akan terjadi perubahan warna menjadi warna hijau kehitaman. Warna hijau kehitaman tersebut merupakan endapan tanin yang dihasilkan oleh penambahan ferriklorida sehingga terjadi reaksi kimia antara ferriklorida dan gugus fenol dari tanin. Oleh karena itu pada uji ferriklorida ini menunjukkan hasil yang positif. Sehingga dapat dikatakan bahwa dalam ekstrak D mengandung tanin.
Untuk mengetahui lebih jelas apakah ekstrak D mengandung tanin atau polifenol maka dilanjutkan dengan uji gelatin. Larutan IVA digunakan sebagai blanko, kemudian larutan IVB ditambahkan dengan sedikit larutan gelatin dan 5 ml larutan NaCl 10%. Jika terjadi endapan putih menunjukkan adanya tanin. Hal tersebut terjadi karena gelatin maupun dengan reagen garam-gelatin merupakan indikasi adanya tanin. Dasar untuk reaksi ini adalah terbentuknya endapan antara protein / gelatin dan tanin, dimana reaksi menjadi lebih sensitif dengan penambahan NaCl untuk meningkatkan “salting out” dari kompleks protein-tanin. Tapi pada praktikum yang telah dilakukan, dengan uji gelatin ini tidak menunjukkan adanya endapan berwarna putih. Sehingga dapat dinyatakan bahwa ekstrak D tidak mengandung polifenol.
Ekstrak D positif mengandung polifenol karena pada uji ferriklorida menunjukkan hasil yang positif dan uji gelatin menunjukkan hasil yang negatif.
Uji selanjutnya adalah kromatografi lapis tipis. Sebagian larutan IVA digunakan untuk pemeriksaan KLT. Larutan IVA ditotolkan pada lempeng KLT ± 4 μl. Pada uji dengan KLT ini digunakan fase diam kiesel gel GF 254. Dan fase gerak berupa larutan kloroform-etil asetat ( 1 : 9 ) dan pereaksi penampak noda dengan pereaksi FeCl3. Melihat fase diam dan fase gerak yang digunakan dalam identifikasi ini, fase KLT yang digunakan adalah normal phase, karena sifat silika gel adalah polar, sedangkan fase geraknya bersifat non polar. Lempeng yang telah ditotolkan larutan IVA dan standar dieluasi dengan fase gerak. Setelah eluasi selesai, lempeng KLT dikeringkan dan diberi pereaksi FeCl. Pemberian penampak noda FeCl menimbulkan warna hitam. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak D mengandung polifenol. Data ini juga diperkuat dari uji ferriklorida yang menunjukkan hasil yang positif.

Identifikasi Senyawa Golongan Antrakinon
 Golongan kuinon alam terbesar terdiri atas antrakuinon. Beberapa antarkuinon merupakan zat warna penting dan yang lainnya sebagai pencahar. Keluarga tumbuhan yang kaya akan senyawa jenis ini adalah Rubiaceae, Rhamnaceae, Polygonaceae.
Untuk mengidentifikasi senyawa antrakuinon dilakukan uji borntrager. Awalnya ekstrak ditambah air suling untuk melarutkan senyawa yang terkandung didalamnya lalu disaring untuk memisahkan senyawa pengotornya. Filtrat yang diperoleh di ekstrak dengan toluena dan dikocok kuat sehingga senyawa antrakinon akan terlarut dalam fase toluennya. Hasil ekstraksi dibagi menjadi dua yaitu larutan VA dan VB. Larutan VA digunakan sebagai blanko. Dan larutan VB ditambah amoniak dan dikocok. Warna merah menunjukkan adanya senyawa antrakinon. Tapi dari hasil percobaan yang dilakukan pada uji borntrager ini tidak didapatkan larutan menjadi berwarna merah. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak D tidak mengandung antrakinon.
Selanjutnya dilakukan uji modifikasi borntrager. Ekstrak sebanyak 0,3 gram ditambahkan dengan 1 ml KOH 5N dan 1 ml H2SO4 encer. KOH berfungsi sebagai pemberi suasana basa dan  berfungsi untuk menghidrolisis glikosida dan mengoksidasi antron atau antranol menjadi antrakinon. Sedangkan H2SO4 berfungsi sebagai pemberi suasana asam. Sehingga didapatka senyawa dengan suasana netral dengan adanya penmbahan H2SO4. Kemudian larutan tersebut dipanaskan dan disaring. Filtrat kemudian ditambahkan asam asetat glasial 1 – 2 tetes, kemudian di ekstraksi dengan 3 mL toluena. Ekstraksi bertujuan untuk menghidrolisis antrakuinon, yaitu memisahkan antara glikon dan aglikonnya. Fase toluen diambil dan dibagi menjadi dua bagian, yaitu larutan VIA dan VIB. Larutan VIA digunakan sebagai blanko. Larutan VIB ditambahkan ammoniak. Ammoniak berfungsi untuk memberikan suasana basa. Warna merah atau merah muda pada lapisan alkalis menunjukkan adanaya antrakinon. Tetapi pada hasil praktikum ini tidak terjadi perubahan warna menjadi warna merah. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak d tidak mengandung senyawa antrakinon.
 Selanjutnya dilakukan uji KLT. Fase diam yang digunakan adalah kiesel gel GF 254, dengan fase gerak toluena-etil asetat-asam asetat ( 75 : 24 : 1 ) dan dengan penampak noda larutan KOH 10% dalam metanol. Sampel yang ditotolkan merupakan larutan VA yang digunakan sebagai blanko pada uji borntrager. Larutan ditotolkan sampai tampak warna, tetapi tidak terlalu pekat, yang dalam hal ini ditotolkan ± 2 μl. Kemudian lempeng dieluasi dalam chamber yang berisi eluen. Setelah selesai eluasi, lempeng diambil dan dikeringkan. Setelah kering diberi penampak noda dengan disemprotkan larutan KOH 10% dalam metanol untuk menampakkan noda, dan noda yang timbul berwarna kuning. Hal itu menunjukkan adanya antrakuinon. Tapi dalam praktikum yang dilakukan tidak didapatkan noda berwarna kuning. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak D tidak mengandung antakuinon.




·        KESIMPULAN
Dari hasil praktikum ini, diperoleh kesimpulan bahwa ekstrak D yang merupakan ekstrak buah kenitu mengandung :
Ø Terpenoid atau steroid bebas
Ø Polifenol
Dari hasil ini sesuai dengan literatur yang menyebutkan bahwa buah kenitu mengandung polifenol. Tapi pada praktikum ini juga didapatkan bahwa buah kenitu mengandung terpenoid atau steroid bebas. hasil ini dimungkinkan adanya positif palsu. Yang dikarenakan adanya pengganggu dalam percobaan. Dan kesalahan dalam percobaan.


















DAFTAR PUSTAKA
  1. Harborne. J.B.,1987. Metode Fitokimia , terjemahan K. Radmawinata dan I. Soediso, 69-94, 142-158, 234-238. Bandung : ITB Press
  2. Teyler.V.E.et.al.1988.Pharmacognosy Edition 9th. 187 – 188. Phiadelphia : Lea & Febiger