LAPORAN FITOKIM
TUJUAN
- Mahasiswa mengetahui cara pembuatan ekstrak untuk skrining Fitokimia.
- Mahaiswa mengetahui cara identifikasi senyawa golongan alkoloid.
- Mahasiswa mengetahui cara identifikasi senyawa golongan glikosida, saponin, triterpenoid, dan steroid.
- Mahasiswa mengetahui cara identifikasi senyawa golongan flavonoid.
- Mahasiswa mengetahui cara identifikasi senyawa golongan polifenol dan tanin.
- Mahasiswa mengetahui cara identifikasi senyawa golongan antrakinon.
· DASAR TEORI
Berbagai macam pendekatan dilakukan untuk mendapatkan produk bahan alam, dalam hal ini obat dari bahan alam yang memilki aktivitas biologis. Tujuan utama dari pencarian ini adalah untuk mendapatkan tanaman yang akan dikaji kandungan kimianya secara lebih mendalam. Pada dasarnya ada 2 metode untuk mendapatkan zat aktif secara bioligis dalam suatu tanaman yaitu dengan mencari zat aktif (senyawanya) ataupun dengan mencari efek biologis yang ditimbulkan oleh tumbuhan tersebut.
Salah satu pendekatan untuk penelitian tumbuhan obat adalah penapis senyawa kimia yang terkandung dalam tanaman. Cara ini digunakan untuk mendeteksi senyawa tumbuhan berdasarkan golongannya. Sebagai informasi awal dalam mengetahui senyawa kimia apa yang mempunyai aktivitas biologi dari suatu tanaman. Informasi yang diperoleh dari pendekatan ini juga dapt digunakan untuk keperluan sumber bahan yang mempunyai nilai ekonomi lain seperti sumber tanin, minyak untuk industri, sumber gum, dll. Metode yang telah dikembangkan dapat mendeteksi adanya golongan senyawa alkaloid, flavonoid, senyawa fenolat, tannin, saponin, kumarin, quinon, steroid/terpenoid. (Teyler.V.E,1988)
1. Alkaloid
a. Pengertian alkaloid
Alkaloid merupakan golongan zat tumbuhan sekunder yang terbesar. Pada umumnya alkaloid mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen, biasanya dalam gabungan, sebagai bagian dari sistem siklik. Alkaloid seringkali beracun bagi manusia dan banyak yang mempunyai kegiatan fisiologi yang menonjol yang digunakan secara luas dalam bidang pengobatan. Alkoloid biasanya tanpa warna, seringkali bersifat optis aktif, kebanyakan berbentuk kristal tetapi hanya sedikit yang berupa cairan ( misalnya nikotina pada suhu kamar ).
Prazat alkaloid yang paling umum adalah asam amino, meskipun sebenarnya biosintesis kebanyakan alkaloid lebih rumit. Secara kimia, alkaloid merupakan suatu golongan heterogen. Ia berkisar dari senyawa sederhana seperti koniina, yaitu alkaloid utama Conium maculatum sampai pentasiklik seperti estrikhnina yaitu racun kulit strychnos.
Alkoloid, sekitar 5500 telah di ketahui, merupaan golongan zat tumbuhan sekunder yang terbesar. Tidak ada satu pun istilah alkoloid yang memuaskan tetapi pada umumnya alkoloid mencakup senyawa bersifat basa mengandung satu atau lebih atom nitrogen, biasanya dalam gabungan sebagai bagian dari sistem siklik. Alkoloid sering kali beracun bagi manusia dan banyak yang mempunyai kegiatan fisiologi yang menonjol jadi digunakan secara luas dalam bidang pengobatan. Alkoloid biasanya tanpa warna, sering kali bersifat optis aktif, kebanyakan berbentuk kristal tetapi hanya sedikit yang berupa cairan (misalnya nikotina) pada suhu kamar . Uji sederhana tetapi yang sama sekali tidak satu sempurna, untuk alkoloid dalam daun atau buah segar adalah rasa pahitnya di lidah. Misalnya, alkoloid kinina adalah zat yang dikenal paling pahit dan pada konsentrasi molar 1x 103 membeikan rasa pahit yang berarti. Amina tumbuhan (misalnya meskalina) dan basa Purina dan pirimidina (misalnya kafeina) kadang-kadang digolongkan sebagai alkoloid dalam arti umum.
Banyak alkoloid bersifat terpenoid dan beberapa (misalnya solanina alkoloid – steroid kentang, Solanum tuberosum) sebaiknya ditinjau dari segi biosintesis sebagai terpenoid termodifikasi. Yang lainnya terutama berupa senyawa aromatik ( misalnya kolkisin, alkoloid tropolon umbi crocus musim gugur ) yang mengandung gugus basa sebagai gugus rantai samping. Banyak sekali alkoloid yang khas pada suatu suku tumbuhan atau beberapa tumbuhan sekerabat. Jadi nama alkoloid sering kali diturunkan dari sumber tumbuhan penghasilnya, misalnya alkoloid atropa atau alkoloid tropana, dan sebagainya. (Harbrone.J.B,1987)
Sebagian besar alkaloid alami yang bersifat sedikit asam memberikan endapan dengan reaksi yang terjadi dengan reagent Mayer (Larutan Kalium Mercuri Iodida); reagent Wangner (larutan Iodida dalam Kalium Iodida); dengan larutan asam tanat, reagent Hager (saturasi dengan asam pikrat); atau dengan reagent Dragendroff (larutan Kalium Bismuth Iodida). Endapan ini berbentuk amorf atau terdiri dari kristal dari berbagai warna. Cream (Mayer), Kuning (Hager),coklat kemerah – merahan (Wagner dan Dragendroff). Caffein dan beberapa alkaloid tidak menimbulkan reaksi pengendapan. Ketelitian harus dimulai dari ekstraksi alkaloid yang diuji karena bahan akan membentuk endapan dengan protein. sebagian dari protein akan membuat tidak larut dari bahan yang telah diekstrak oleh proses epaporasi atau mungkin disebabkan filtrat yang terbongkar. Jika ekstrak asli telah dikonsentrasi ke konsentrasi rendah akan membentuk ekstrak alkaloid yang berbentuk basa dengan pertolongan suatu pelarut organik kemudian dimasukan dalam larutan asam encer (misalnya : Tartrat), larutan haus bebas dari protein dan siap untuk dilakukan uji alkaloid. (Teyler.V.E,1988)
b. Pereaksi Alkaloid
Untuk pereaksi Dragendrof dibuat dua larutan persediaan : (1) 0,6 g bismut subnitrat dalam 2 ml HCl pekat dan 10 ml air ; (2) 6 g Kalium iodida dalam 10 ml air. Larutan persediaan ini dicampur dengan 7 ml HCl pekat dan 15 ml air. Untuk menyemprot kertas dengan pereaksi iodoplatinat, 10 ml larutan platina klorida 5% dicampur dengan 240 ml Kalium iodide 2% dan diencerkan dengan air sampai 500 ml. untuk menyemprot pelat, campurkan 10 ml platina klorida 5%, 5 ml HCl pekat, dan 240 ml Kalium iodide 2%. (Teyler.V.E,1988)
c. Klasifikasi alkaloid
Pada bagian yang memaparkan sejarah alkaloid, jelas kiranya bahwa alkaloid sebagai kelompok senyawa, tidak diperoleh definisi tunggal tentang alkaloid. Sistem klasifikasi yang diterima, menurut Hegnauer, alkaloid dikelompokkan sebagai:
1) Alkaloid Sesungguhnya
Alkaloid sesungguhnya adalah racun, senyawa tersebut menunjukkan aktivitas fisiologi yang luas, hampir tanpa terkecuali bersifat basa; lazim mengandung Nitrogen dalam cincin heterosiklik ; diturunkan dari asam amino ; biasanya terdapat “aturan” tersebut adalah kolkisin dan asam aristolokhat yang bersifat bukan basa dan tidak memiliki cincin heterosiklik dan alkaloid quartener, yang bersifat agak asam daripada bersifat basa.
2) Protoalkaloid
Protoalkaloid merupakan amin yang relatif sederhana dimana nitrogen dan asam amino tidak terdapat dalam cincin heterosiklik. Protoalkaloid diperoleh berdasarkan biosintesis dari asam amino yang bersifat basa. Pengertian ”amin biologis” sering digunakan untuk kelompok ini. Contoh, adalah meskalin, ephedin dan N,N-dimetiltriptamin.
3) Pseudoalkaloid
Pseudoalkaloid tidak diturunkan dari prekursor asam amino. Senyawa biasanya bersifat basa. Ada dua seri alkaloid yang penting dalam khas ini, yaitu alkaloid steroidal (contoh: konessin dan purin (kaffein). (Teyler.V.E,1988)
2. Fenol
Senyawa asam fenolat ada hubungannya dengan lignin terikat sebagai ester atau terdapat pada daun di dalam fraksi yang tidak larut dalam etanol; atau mungkin terdapat dalam fraksi yang larut dalam etanol, yaitu sebagai glikosida sederhana. Deteksi asam fenolat dan lignin dalam jaringan tumbuhan Lignin ialah polimer fenol yang terdapat dalam dinding sel tumbuhan, yang bersama selulosa, menyebabkan kekakuan dan kekokohan batang tumbuhan. Lignin terutama terdapat pada tumbuhan berkayu karena sampai 30% bahan organik pepohonan terdiri atas zat ini. Bila dioksidasi dengan nitrobenzene, lignin menghasilkan tiga aldehida fenol sederhana yang ada kaitannya dengan asam fenolat tumbuhan umum. (Harbrone.J.B,1987)
3. Tanin
Tanin terdapat luas dalam tumbuhan berpembuluh, dalam angiospermae terdapat khusus dalam jaringan kayu. Menurut batasannya, tanin dapat bereaksi dengan protein membentuk kepolumer mantap yang tidak larut dalam air. Dalam industri, tanin adalah senyawa yang berasal dari tumbuhan, yang mampu mengubah kulit hewan yang mentah menjadi kulit siap pakai karena kemampuanya menyambung silang protein.
Di dalam tumbuhan letak tanin terpisah dari protein dan enzim sitoplasma, tetapi bila jaringan rusak, misalnya bila hewan memakanya, maka reaksi penyamakan dapat terjadi. Reaksi ini menyebabkan protein lebih sukar dicapai oleh cairan pencernaan hewan. Pada kenyataanya, sebagian besar tubuhan yang banyak bertanin dihindari oleh hewan pemakan tumbuhan karena rasanya yang sepat. Kita menganggap salah satu fungsi utama tanin dalam tumbuhan ialah sebagai penolak hewan pemakan tumbuhan.
Secara kimia terdapat dua jenis utama tanin yang tersebar tidak merata dalam dunia tumbuhan. Tanin –terkondensasi hampir terdapat semesta di dalam paku-pakuan dan gimnospermae, serta tersebar luas dalam angiospermae, terutama pada jenis tumbuhan berkayu. Sebaliknya, tanin yang terhidrolisiskan penyebaranya terbatas pada tumbuhan berkeping dua. (Harbrone.J.B,1987)
4. Flavonoid
Flavonoid terdapat dalam tumbuhan sebagai campuran, jarang sekali dijumpai hanya flavonoid tunggal dalam jaringan tumbuhan. Disamping itu, sering terdapat campuran yang terdiri atas flavonoid yang berbeda kelas. Penggolongan jenis flavonoid dalam jaringan tumbuhan mula – mula didasarkan pada telaah sifat kelarutan dan reaksi warna. Kemudian diikuti dengan pemeriksaan ekstrak tumbuhan yang telah dihidrolisis secara kromatografi. (Harbrone.J.B,1987)
5. Steroid dan Triterpenoid
Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprene dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C 30 asiklik, yaitu skualena. Triterpenoid dapat dipilah menjadi sekurang – kurangnya empat golongan senyawa : triterpena sebenarnya, steroid, saponin dan glikosida jantung. Kedua golongan yang terakhir sebenarnya triterpena atau steroid yang terutama terdapat sebagai glikosida.
Sterol adalah triterpena yang kerangka dasarnya system cincin siklopentana perhidrofenantrena. Dahulu sterol terutama dianggap sebagai senyawa satwa (sebagai hormone kelamin, asam empedu, dll), tetapi pada tahun – tahun terakhir ini makin banyak senyawa tersebut yang ditemukan dalam jaringan tumbuhan. (Harbrone.J.B,1987)
6. Kuinon
Kuinon adalah senyawa berwarna dan mempunyai kromofor dasar seperti kromofor pada benzokuinon, yang terdiri atas dua gugus karbonil yang berkonjugasi dengan dua ikatan rangkap karbon – karbon. Untuk tujuan identifikasi, kuinon dapat dipilah menjadi empat kelompok : benzokuinon, naftokuinon, antrakuinon, dan kuinon isoprenoid. Tiga kelompok pertama biasanya terhidroklisasi dan bersifat senyawa fenol serta mungkin terdapat in vivo dalam bentuk gabungan dengan gula sebagai glikosida atau dalam bentuk kuinol.
Untuk memastikan adanya suatu pigmen termasuk kuinon atau bukan, reaksi warna sederhan masih tetap berguna. Reaksi yang khas ialah reduksi bolak balik yang mengubah kuinon menjadi senyawa tanwarna, kemudian warna kembali lagi bila terjadi oksidasi oleh udara. (Harbone.J.B, 1987)
Sistem KLT yang dianjurkan untuk golongan utama senyawa kimia tumbuhan. KLT merupakan sistem kromatografi yang pemakaiannya paling luas pada fitokimia karena dapat ditetapkan hampir pada setiap golongan senyawa kecuali pada kandungan yang sanga atsiri. Cara ini dapat dipakai pada pemeriksaan pendahuluan ekstrak kasar dari kebanyakaan senyawa dan juga sebagai cara pada pemisahan dan ekstrak pendahuluan.
Kenitu
Kingdom: Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom: Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi: Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas: Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub Kelas: Dilleniidae
Ordo: Ebenales
Spesies: Chrysophyllum cainito L.
Kenitu (Chrvsophvllum cainito L.), yang asli dari Amerika Tengah yang tealah dapat tumbuh secara lokal disekitar Jember, Jawa Timur. Tumbuhan daerah tropis yang berbentuk pohon, berumur menahun, tinggi 15-20 dapat mencapai ketinggian tidak melebihi dari 30 m yang selalu hijau dan tumbuh cepat, berakar tunggang dengan batang berkayu, silindris, tegak, warna cokelat, abu-abu gelap sampai keputihan.permukaan kasar berdaun tunggal, warna permukaan atas hijau bawah coklat, panjang 9-14 cm, lebar 3-5 cm, helaian daun agak tebal, kaku bentuk lonjong, ujung runcing, pangkal meruncing, tepi rata, pertulangan menyirip, tidak pernah meluruh bunga. Buah buni, bulat, warna hijau keputih-putihan, dengan biji hitam, pipih, panjang sekitar 1 cm, berkeping dua.
Data etnobotani menunjukkan komposisi obat seperti penyejuk pada pembengkakan laring dan pneumonia, sebagai terapi Diabetes Melitus dan pengobatan kanker yang diakibatkan oleh mekanisme radikal bebas.
Kandungan fitokimia dalam tumbuhan kenitu adalah polifenol. Pada sebuah penilitian buah segar kenitu yang diekstrak dengan methanol dan dipisahkan dengan heksana dan etliasetat. Fraksinasi larutan etil asetat menunjukkan aktifitas antioksidan yang tinggi pada 1,1-difenil-2-picrylhydrazyl (DPPH). Dari pengujian ini didapatkan 9 macam polifenol antioksidan yaitu catechin, epicatechin, gallocatechin, epigallocatechin, quercetin, quercitrin, isoquercitrin, myricitrin, dan asam galat.
· ALAT DAN BAHAN
Latihan I (Pembuatan ekstrak untuk skrining fitokimia)
Alat : ᴥ Erlenmeyer
ᴥ Magnetik stirrer
ᴥ Hot plate stirrer
ᴥ Rotary evaporator
Bahan : ó 500 gram serbuk kering
ó Etanol / metanol 80%
Latihan II (identifikasi senyawa golongan alkaloid)
Alat : ᴥ Penangas air
ᴥ Lempeng KLT
ᴥ Penotol mikro
ᴥ Kertas saring
ᴥ Gelas ukur
ᴥ Erlenmeyer
ᴥ Cawan porselen
ᴥ Batang pengaduk
ᴥ Corong kaca
ᴥ Tabung reaksi
ᴥ Pipet
ᴥ Chamber
Bahan : ó Ekstrak sebanyak 0,3 gram
ó HCl 2 N
ó 0,3 gram NaCl
ó Kloroform bebas air
ó Etil asetat – metanol – air
ó Pereaksi dragendrof
ó Pereaksi mayer
ó Pereaksi wagner
ó NH4OH 28%
ó Kiesel gel GF 254
Latihan III (identifikasi glikosida saponin, triterpenoid dan steroid)
Alat : ᴥ Tabung reaksi
ᴥ Corong
ᴥ Kapas basah
ᴥ Penangas air
ᴥ Penotol mikro
ᴥ Lempeng KLT
ᴥ Gelas ukur
ᴥ Pipet tetes
ᴥ Chamber
ᴥ Erlenmeyer
Bahan : ó Air suling
ó H2SO4 pekat
ó Kiesel gel GF 254
ó Anisaldehida asam sulfat
ó Antimon klorida
ó Ekstrak sebanyak 0,3 gram
ó Etanol
ó Asam asetat anhidrat
ó HCl 2 N
ó n-heksana-etil asetat
Latihan IV (identifikasi senyawa golongan flavonoid)
Alat : ᴥ Tabung reaksi
ᴥ Penangas air
ᴥ Lempeng KLT
ᴥ Penotol mikro
ᴥ Gelas ukur
ᴥ Pipet tetes
ᴥ Vortex
ᴥ Chamber
ᴥ Erlenmeyer
Bahan : ó Ekstrak
ó n-heksana
ó Mg
ó Kiesel gel GF 254
ó Kloroform-etil asetat
ó NaCl 10%-gelatin
ó FeCl3
ó Pereaksi FeCl3
Latihan V (identifikasi senyawa golongan polifenol dan tanin)
Alat : ᴥ Pipet tetes
ᴥ Kertas saring
ᴥ Tabung reaksi
ᴥ Lempeng KLT
ᴥ Penotol mikro
ᴥ Gelas ukur
ᴥ Corong kaca
ᴥ Vortex
ᴥ Chamber
ᴥ Erlenmeyer
Bahan : ó Ekstrak
ó Aquadest panas
ó Kiesel gel GF 254
ó Kloroform-etil asetat
ó NaCl 10%-gelatin
ó FeCl3
ó Peraksi FeCl3
Latihan VI (identifikasi senyawa golongan antrakinon)
Alat : ᴥ Corong
ᴥ Tabung reaksi
ᴥ Kertas saring
ᴥ Penangas air
ᴥ Lempeng KLT
ᴥ Penotol mikro
ᴥ Gelas ukur
ᴥ Pipet tetes
ᴥ Vortex
ᴥ Chamber
ᴥ Erlenmeyer
Bahan : ó Ekstrak
ó Toluena
ó KOH 5N
ó Kiesel gel GF 254
ó Toluena-etil-asam asetat
ó KOH 10% dalam metanol
ó Aquadest
ó Ammonia
ó H2SO4
· CARA KERJA
Pembuatan Ekstrak Untuk Skiring Fitokimia
Identifikasi senyawa golongan alkaloid
1. Penyiapan sampel
2. Reaksi Pengendapan
3. Kromatografi Lapis Tipis
Identifikasi glikosida saponin, triterpenenoid dan steroid
1. Uji Buih
2. Uji Salkowski
Identifikasi Sapogenin Steroid atau Triterpenoid secara KLT
Identifikasi Terpenoid atau Steroid Bebas secara KLT
Identifikasi Senyawa Golongan Flavonoid
1. Reaksi Warna
a) Uji Bate – Smith dan Metclaft
b) Uji Wilstater
2. Kromatografi Lapis Tipis
Identifikasi Senyawa Golongan Polifenol dan Tanin
1. Reaksi Warna
0,3 gram ekstrak ditambah dengan aquades panas
Aduk biarkan ad temperature kamar
Tambahkan 3-4 tetes 10% NaCl
aduk, saring
filtrat dibagi 3 bagian masing-masing ± 4 mL
yaitu Larutan IVA, IVB, IVC
a) Uji Ferriklorida
Larutan IVC ditetesi FeCl3
Amati perubahan warna yang terjadi
Warna hijau kehitaman menunjukkan adanya tannin
Jika pada penambahan gelatin dan NaCl tidak timbul
endapan tetapi setelah Ditambahkan dengan FeCl3
Terjadi perubahan warna merah menjadi
biru hingga hitam menunjukkan adanya senyawa polifenol
FeCl3 positif, uji gelatin positif : tannin (+)
FeCl3 positif, uji gelatin negatif : polifenol (+)
FeCl3 negatif : poifenol (-),
tannin
b) Uji Gelatin
Larutan IVA sebagai blanko
Larutan IVB
Ditambah dengan sedikit larutan gelatin dan 5 mL
NaCl 10%
Endapan putih menunjukkan adanya tanin
2. Kromatografi Lapis Tipis
Larutan IVC
Pemeriksaa KLT
Fase diam : Kiesel Gel GF 254
Fase gerak : Kloroform – etil asetat (1:9)
Penampak noda : pereaksi FeCl3
Timbul warna hitam menunjukkan adanya polifenol
dalam sampel
Identifikasi Senyawa Golongan Antrakinon
1. Reaksi warna
a) Uji Borntrager
0,3 gram ekstrak diekstraksi dengan 10 mL air suling
Saring, filtrate diekstraksi dengan 3 mL toluene
dalam corong pisah
Dilakukan 2 kali
Fase toluene dikumpulkan, dibagi menjadi 2 bagian:
Larutan VA, VB
Larutan VA sebagai blanko
Larutan VB ditambah dengan ammonia dan kocok
Warna merah menunjukkan adanya senyawa antrakinon
b) Uji modifikasi Borntrager
0,3 gram ekstrak ditambah dengan 1 mL KOH 5N
dan 1 mL H2SO4 encer
Panaskan dan saring
Filtrat ditambah asam asetat glasial
Diekstraksi dengan toluena
Fase toluena diambi dan dibagi menjadi 2:
Larutan VIA, VIB
Larutan VIA sebagai blanko
Larutan IVB ditambah ammonia
Warna merah arau merah muda pada lapisan alkalis
menunjukkan adanya antrakinon
2. Kromatografi Lapis Tipis
Sampel ditotolkan pada fase diam
Pemeriksaan KLT
Fase diam : Kiesel Gel GF 254
Fase gerak : Toluena – etil – asam asetat (75:24:1)
Penampak noda : larutan 10% KOH dalam methanol
Timbul noda warna kuning, kuing coklat, merah ungu
atau hijauungu menunjukkan adanya senyawa antrakinon
· HASIL PENGAMATAN
· ALKALOID
PEREAKSI | HASIL |
Mayer | (-) tidak terbentuk endapan/kekeruhan |
Wagner | (-) tidak terbentuk endapan/kekeruhan |
Uji KLT | (-) tidak tampak noda jingga |
Gambar. Reaksi pengendapan (Penambahan larutan mayer + Wagner)
· TRITERPENOID, STEROID, DAN SAPONIN
· Identifikasi Saponin dengan Uji Buih :
-terjadi buih yang stabil selama 30 menit dengan 3,5 cm di atas permukaan cairan. Hasilnya adalah positif (+) |
Gambar 1. Hasil uji buih setelah 30 menit
· Identifikasi Steroid dengan Reaksi Warna (Uji Salkowski) :
Gambar 2a. Uji Salkowski Gambar 2b. Uji Salkowski
-Hasilnya larutan ekstraksi terbentuk cincin, maka ekstrak mengandung steroid atau positif (+). |
· Identifikasi Sapogenin Steroid atau Triterpenoid secara KLT :
-hasilnya adalah pada lempeng terbentuk noda berwarna ungu, Tinggi noda dari garis penotolan (h) = 7.7cm, Rf= 7.7/8=0,9625 jadi ekstrak mengandung sapogenin ditunjukkan dengan warna dari anisaldehida asam sulfat (+) |
· Identifikasi Terpenoid atau Steroid Bebas secara KLT
-hasilnya adalah tidak timbul warna ungu pada sampel. Jadi ekstrak tidak mengandung terpenoid/steroid bebas. |
· FLAVONOID
· Reaksi warna
· Uji Bate-Smith dan Metcalf menunjukkan warna merah bening sehingga positif mengandung leukoantosianin
Gambar 3. Uji Bate-Smith warna merah terang
· Uji Wilstater menunjukkan 3 lapisan warna, yaitu merah tua, merah pucat dan merah jingga sehingga positif mengandung flavonol, flavonon, dan flavon.
Gambar 3a. saat penambahan air suling Gambar 3b. Penambahan Butanol
Gambar 3c. flavonoid
· KLT menunjukkan warna kuning dengan tinggi noda 7,6
Rf= 7,6/8= 0,95 sehingga positif mengandung flavonoid.
Gambar KLT Flavonoid
· POLIFENOL DAN TANIN
Pengujian | Hasil |
Uji Ferriklorida | Tanin (+), polifenol (+) ditandai dengan perubahan warna menjadi hijau kehitaman |
Uji Gelatin | Tanin (-), tidak ada perubahan warna. |
Kromatografi | (+) Timbul warna hitam dengan Rf 2.7/8= 0.3375 |
Gambar 4a. Uji Ferriklorida Gambar 4a. Blanko Gelatin Gambar 4b. Uji Gelatin
· ANTRAKINON
· Uji Borntrager menunjukkan hasil warna bening atau tidak mengalami perubahan warna sehingga negatif mengandung antrakinon.
Gambar 5a. Uji Borntrager Gambar 5b. Uji Borntrager Negatif
· Uji Modifikasi Borntrager menunjukkan hasil warna bening atau tidak mengalami perubahan warna sehingga negatif mengandung antrakinon.
Gambar 6a. Blanko (kiri) dan Penambahan Amonia (kanan)
· KLT dengan penampak noda larutan 10% KOH dalam methanol menunjukkan hasil warna kuning dengan Rf 2.2/8= 0.275 dan Rf 5.4/8= 0.675. sehingga positif mengandung antrakinon.
Gambar KLT Polivenol
· PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini, kita akan membahas tentang skrining fitokimia, dimana nantinya akan diidentifikasi beberapa golongan senyawa dari suatu ekstrak tumbuhan yang tidak diketahui identitasnya. Dalam praktikum ini kita akan mengidentifikasi senyawa golongan alkaloid, flavonoid, glikosida saponin, triterpenoid dan steroid, polifenol dan tannin serta golongan antrakinon.
Identifikasi Senyawa Golongan Alkaloid
Alkaloid sekitar tahun 5500 telah diketahui, merupakan golongan zat tumbuhan sekunder yang terbesar. Tidak ada satupun istilah alkaloid yang memuaskan, tetapi pada umumnya alkaloid mencakup senyawa yang bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen, biasanya dalam gabungan, sebagai dari system siklik. Alkaloid sering beracun bagi manusia dan banyak yang mempunyai kegiatan fisiologi yang menonjol, jadi digunakan secara luas dalam bidang pengobatan. Alkaloid biasanya tidak berwarna, seringkali bersifat optic aktif. Kabanyakan berbentuk Kristal tetapi hanya sedikit yang berupa cairan (misalnya nikotina) pada suhu kamar.
Menurut Hegnauer bahwa “alkaloid adalah zat yang sedikit atau lebih toksik yang memiliki aktivitas utama terhadap system saraf pusat, memiliki karakter dasar, mengandung nitrogen heterosiklik dan disintregasi dalam tanaman dari asam amino atau turunannya. Keberadaannya terdistribusi dalam kingdom tumbuhan.” Fungsi alkaloid dalam tumbuhan masih sangat kabur, meskipun masing-masing senyawa telah dinyatakan sebagai pengatur tumbuh, atau penghalau atau penarik serangga. Teori yang menyatakan bahwa alkaloid merupakan bentuk penyimpan nitrogen dalam tumbuhan, sekarang ini tidak lagi diterima.
Alkaloid biasanya diperoleh dengan cara mengekstraksi bahan tumbuhan memakai air yang diasamkan dan melarutkan alkaloid sebagai garam atau bahan tumbuhan dapat dibasakan dengan natrium karbonat dan sebagainya dan basa bebas diekstraksi dengan pelarut organic seperti kloroform, eter dan sebagainya. Beberapa alkaloid yang dapat menguap seperti nikotina dapat dimurnikan dengan cara penyulingan uap dari larutan yang dibasakan. Larutkan dalam air yang bersifat asam dan mengandung alkaloid dapat dibasakan dan alkaloid diekstraksi dengan pelarut organic sehingga senyawa netral dan asam yang mudah larut dalam air tertinggal dalam air.
Bukti kualitatif untuk menunjukkan adanya alkaloid dan pencirian kasar dapat diperoleh dengan menggunakan berbagai pereaksi alkaloid. Beberapa pereaksi yang digunakan adalah pereaksi Mayer, pereaksi Wagner, pereaksi Asam Silikotungsat 5%, pereaksi Asam Tanat 5%, pereaksi Dragendorff, perekasi iodoplatinat dan larutan asam pikrat jenuh.
Dalam praktikum yqang kami lakukan dalam pengidentifikasian golongan senyawa alkaloid dengan menggunakan 2 cara yaitu reaksi pengendapan dan kromatografi Lapis Tipis.
a. Reaksi Pengendapan
Ekstrak sebanyak 0.32 gram ditambah 5 mL HCl 2 N, dipanaskan di atas penangas air selama 2 – 3 menit, sambil diaduk. Setelah dingin ditambah 0.3 gram NaCl, diaduk rata kemudian disaring. Filtrate yang diperoleh ditambah 5 mL HCl 2 N dan dibagi menjadi 3 bagian yang sama yaitu larutan A, B dan C. Penambahan NaCl ini bertujuan untuk mengendapkan protein yang dapat menyebabkan terjadinya positif palsu. Dalam penambahan NaCl ini terjadi salting out dari protein. Dalam reaksi pengendapan alkaloid ini digunakan 2 macam peraksi, yaitu :
1) Pereaksi Mayer
Pereaksi Mayer ini mengandung Kalium Tetraiodomerkurat dan paling banyak digunakan untuk mengidentifikasi alkaloid karena pereaksi ini memberikan endapan dengan hamper semua alkaloid. Larutan A yang ditambah dengan + 8 tetes pereaksi Mayer ternyata tidak menimbulkan endapan (negatif). Hal ini berarti bahwa dalam sampel tidak mengandung alkaloid.
2) Pereaksi Wagner
Peraksi wagner ini mengandung iodium dalam Kalium Iodida. Pereaksi ini juga paling sering digunakan untuk mengidentifikasi senyawa golongan alkaloid. Larutan B yang ditambah dengan + 3 tetes pereaksi wagner menghasilkan larutan yang tidak mengandung endapan. Hal ini menandakan bahwa dalam sampel tidak terdapat endapan.
b. Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi Lapis Tipis merupakan suatu metode pemisahan suatu senyawa berdasarkan pada sifat polar dan nonpolar. Dalam KLT ada yang bertindak sebagai fase diam dan fase gerak. Fase diam pada identifikasi ini adalah lempeng Kiesel gel GF 254 yang bersifat polar, sedangkan fase gerak terdiri dari campuran Etil aseta – Metanol – Air dengan perbandingan ( 9 : 2 : 2 ) yang bersifat non polar.
Awalnya larutan IC dari hasil pembagian pada preparasi sampel ditambah dengan NH4OH 28% sampai larutan menjadi basa, kemudian diekstraksi dengan 5 mL kloroform bebas air lalu disaring. Tujuan penambahan NH4OH pada sampel IC adalah untuk memberikan suasana basa pada sampel. Kebanyakan alkaloid bersifat basa yang tergantung pada pasangan electron pada nitrogen. Jika gugus fungsional yang berdekatan dengan nitrogen bersifat melepaskan electron, maka ketersediaan electron pada nitrogen naik dan senyawa bersifat basa. Sebaliknya jika gugus fungsional yang berdekatan bersifat menarik electron maka ketersediaan pasangan electron berkurang dan pengaruh yang ditimbulkan alkaloid dapat bersifat netral atau bahkan bersifat sedikit asam.
Tujuan eksitasi koroform adalah agar senyawa golongan alkaloid dapat larut dalam kloroform dan terpisah atau terhindar dari zat-zat lain yang dapat mengganggu proses identifikasi dan tidak larut dalam kloroform. Filtrate dari proses penyaringan yang berada pada fase kloroform diuapkan sampai kering. Selanjutnya hasil penguapan dilarutkan dalam methanol dan siap untuk pemeriksaan dengan KLT. Sampel ditotolkan pada lempeng KLT (+ 2 kali penotolan) dengan menggunakan pipa kapiler. Setelah itu dieluasi dengan eluen yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Setelah proses eluasi selesai maka dilakukan penyemprotan larutan penampak noda pada lempeng. Pereaksi penampak noda yang menunjukkan adanya alkaloid adalah menggunakan pereaksi Dragendorft.
Ketika pereaksi warna disemprotkan pada lempeng KLT pada awal penotolan dan daerah pergerakan eluen dari sampel yang dianalisis tidak terlihat adanya warna jingga yang menunjukkan adanya alkaloid dalam ekstrak. Dari hasil penampakan spesifik yang menunjukkan tidak adanya warna jingga pada lempeng KLT maka dapat diketahui bahwa sampel ekstrak tumbuhan yang diberikan tidak mengandung senyawa golongan alkaloid.
Identifikasi Senyawa Golongan Terpenoid, Triterpenoid, Sapogenin Steroid dan Steroid Bebas
Senyawa terpenoid berasal dari molekul isoprene CH2=C(CH3)-CH=CH2 dan kerangka karbonnya dibangun oleh penggabungan dua atau lebih satuan C5 ini. Lalu senyawa terpenoid dipilah-pilah menjadi beberapa golongan berdasarkan jumlah satuan yang terdapat dalam senyawa tersebut. Terpenoid terdiri dari beberapa macam senyawa, mulai dari komponen minyak atsiri yaitu monoterpen dan seskuiterpen yang mudah menguap (C10 dan C15). Diterpen yang lebih sukar menguap (C20). Senyawa tidak menguap yaitu triterpenoid dan sterol (C30) serta pigmen karotenoid (C40).
Secara kimia terpenoid umumnya larut dalam lemak dan terdapat pada sitoplasma sel tumbuhan. Kadang minyak atsiri terdapat di sel kelenjar khusus pada permukaan daun dan kromoplast di dalam bunga. Biasanya terpenoid diekstraksi dari jaringan tumbuhan dangan eter, eter minyak bumi atau kloroform dan dapat dipisahkan secara KLT pada silica gel. Tapi seringkali ada kesulitan waktu mendeteksi dalam skala mikro karena kebanyakan senyawanya tidak berwarna dan tidak ada pereaksi kromogenik yang peka. Untuk itu, dilakukan penyemprotan dengan anisaldehid asam sulfat lalu dipanaskan untuk menampakkan noda.
Senyawa triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari 6 satuan isoprene dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik yaitu skualena. Triterpenoid dapat dipilih menjadi 4 golongan senyawa triterpena sebenarnya, steroid, saponin dan glikosida jantung. Saponin dan glikosida jantung merupakan triterpena atau steroid yang terdapat sebagai glikosida. Pada pemeriksaan triterpen harus dilakukan hidrolisis untuk membebaskan aglikon bila ada glikosida. KLT dilakukan pada silica gel memakai pengembang n-heksana : etilasetat (4:1) dengan pendeteksi antimony klorida dalam CHCl3 atau anisaldehid asam sulfat yang dipanaskan. Beberapa campuran triterpena tidak mudah dipisahkan dengan cara trersebut, misalnya amirin dan amirin hanya dapat dipisahkan dengan baik bila dikromatografi memakai n-butanol dan NH4OH 2M (1:1).
Banyak terpenoid dan steroid alcohol terdapat di alam bukan sebagai alcohol bebas tapi sebagai glikosida. Namun senyawa tersebut telah digolongkan menjadi glikosida tertentu yaitu steroid, saponin, glikosida jantung dan lain-lain. Di alam dikenal dua jenis saponin yaitu glikosida triterpenoid alcohol dan glikosida struktur steroid tertentu yang mempunyai rantai samping spiroketal. Kedua jenis saponin ini larut dalam air dan etanol, namun tidak dalam eter. Aglikonnya disebut sapogenin yang diperoleh dari hidrolisis dalam suasana asam atau menggunakan enzim dan tanpa bagian gula. Untuk uji sapogenin ekstrak dihidrolisis dengan HCl selama 2-6 jam, dinetralkan dan lakukan ekstraksi dengan n-heksana larutan dipekatkan lalu di KLT pada silica gel memakai pengembang etil asetat dan n-hekasana (1:4). Selanjutnya sapogenin dideteksi berupa bercak merah jambu setelah plat KLT disemprot dengan antimony klorida dalam HCl pekat atau dengan anisaldehid asam sulfat dan dipanaskan. Sapogenin yang berlaman tidak mudah dipisahkan dengan KLT. Missal, memisahkan diosgenin dari yamogenin diperlukan metode pengembangan sinambung memakai metil diklorida dan eter (4:1) selama 8 jam.
Steroid adalah triterpen yang kerangka dasarnya system cincin sklopentana perhidrofenantrena. Steroid umumnya berada dalam bentuk bebas sebagai glikosida sederehana. Untuk pendeteksian steroid dengan metode KLT cukup dengan melarutkannya dengan etanol lalu bercak nodanya disemprot dengan anisaldehid asam sulfat dan dipanaskan. Jika ekstrak positif mengandung steroid, maka akan timbul noda merah uingu atau ungu.
Pada praktikum kali ini, kami menggunakan beberapa uji antara lain :
a. Reaksi Uji Buih
Pada metode identifikasi menggunakan uji buih yaitu dengan cara memasukkan + 0.3 gram dalam tabung reaksi kemudian ditambahakan air suling 10 mL, kocok selama 30 detik. Jika terjadi buih yang stabil selama lebih dari 30 menit dengan tinggi 3 cm diatas permukaan larutan pada tabung reaksi maka ekstrak yang kita uji mengandung saponin. Pada sampel yang diidentifikasikan positif mengandung buih stabil lebih dari 30 menit dengan tinggi + 3,5 cm di atas permukaan cairan. Hal ini menunjukkan bahwa sampel yang diujikan mengandung saponin.
b. Reaksi Uji Salkwoski
Pada uji Salkoswki, memasukkan 0.3 gram ekstrak dalam tabung reaksi yang dilarutakan dalam 15 mL etanol. Tujuannya adalah untuk memisahkan gugus steroid dengan gugus senyawa lain. Digunakan etanol dikarenakan etanol merupaka pelarut yang universal karena dapat memisahkan senyawa dari yang bersifat polar sampai non polar. Selain itu, etanol dapat memisahkan komponen steroid secara optimal, aman dalam pemakaian, tidak merusak komponen senyawa, tidak berbahaya bagi lingkungan, oekonomis serta mudah didapatkan. Setelah larutan ekstrak homogeny, campuran dibagi menjadi 3 bagian yaitu IIA, IIB dan IIC. Larutan IIA digunakan sebagai blanko, IIC ditambahakan 1-2 mL H2SO4 pekat melalui dinding tabung reaksi. Tujuan penambahan ini untuk memutuskan ikatan gula pada senyawa. Jika ikatan gula terlepas maka adanya steroid bebas pada sampel akan ditandai dengan adanya cincin yang berwarna merah. Apabila hal ini tidak muncul maka tidak mengandung steroid bebas. Pada ekstrak yang didiujikan positif mengandung steroid. Hal in i ditandai adanya cincin berwarna merah.
c. Reaksi Uji KLT Sapogenin/triterpenoid
Dalam proses skrining sapogenin steroid dengan menggunakan KLT, pertama-tama kami menambahkan ektrak yang telah dimasukkan dalam tabung reaksi dengan HCl pekat kemudian dipanaskan dengan heater diluar ruangan karena HCl pekat bersifat korosif, selama 2 jam. Penambahan ini bertujuan untuk membebaskan aglikonnya (sapogenin) dari suatu ikatan glikosida. Sapogenin merupakan salah satu bentuk dari saponin yang terikat atau membentuk ikatan glikosida dengan senyawa lainnya. Sedangkan fungsi dari pemanasan selama 2 jam adalah untuk membantu dan mempercepat putusnya (hidrolisis) sapogenin dari ikatan glikosidanya.
Setelah dilakukan pemanasan selama 2 jam, maka hasil hidrolisis ekstrak tersebut didinginkan kemudian ditambahkan dengan ammonium. Sapogenin bersifat asam, penambnahan ini mempunyai sifat basa yang akan menetralkan larutan. Setelah dinetralkan, dilakukan ekstraksi dengan menggunakan n-heksana sebanyak 3 kali. Tujuan dari pengekstrakan ini adalah untuk memisahkan sapogenin dan senyawa lainnya. Dalam pengekstrakan tersebut akan terbentuk 2 lapisan. Lapiasan yang diambil adalah lapisan n-heksana, karena sapogenin cenderung larut dalam n-heksana. Kemudian dilakukan penguapan untuk menghilangkan n-heksana tadi. Kemudian dilakukan penotolan sampel ke lempeng KLT. Dengan fase gerak n-heksana dan etil asetat. Melihat bahan yang digunakan dalam fase diam dan fase geraknya, proses KLT yang kita gunakan ini adalah normal fase, karena fase diam yang kita gunakan bersifat polar sedangkan fase geraknya bersifat nonpolar.
Setelah proses eluasi selesai maka lempeng dikeringkan kemudia disemprot dengan penampak noda anisaldehid asam sulfat. Jika terdapat penamapakan noda berwarna ungu mengidentifikasi bahwa sampel mengandung sapogenin dan dapatr diukur besarnya Rf. Pada sampel ekstrak mengandung sapogenin steroid/triterpenoid. Hal ini ditunjukkan dengan adanya noda warna ungu dengan tinggi noda 7,7 cm dan Rf 0,96.
d. Identifikasi Terpenoid atau Steroid Bebas secara KLT
Uji kandungan steroid atau terpenoid bebas dalam ekstrak simplisia dilakukan dengan menggunakan kromatograrfi lapis tipis. KLT merupakan metode kromatografi yang paling sederhana. Fase diam yang digunakan berupa lapisan tipis dan fase gerak berupa cairan. Bercak atau noda yang dihasilkan ditandai, jika tidak tampak dapat dialkukan penyemprotan dengan pereaksi penampak noda tertentu. Metode termudah adalah dengan menggunakan nilai Rf yaitu perbandingan jarak tepuh noda dengan jarak tempuh eluen dalam sistem kromatografi.
Pertama – tama ekstrak ditambah dengan beberapa tetes etanol, sehingga didapat fase organik. Etanol dipilih katrena secara umum etanol merupakan pelarut yang dianggap dapat melarutkan seluruh golongan metabolit sekunder, termasuk terpenoid dan steroid bebas. Dalam identifikasi ini, tidak dilakukan proses hidrolisis karena bentuk terpenoid dan steroidnya adalah bentuk bebas, tidak memiliki ikatan glikosida seperti pada sapogenin steroid atau triterpenoid yang sebelum diidentifikasi harus diputus terlebih dahulu ikatannya.
Langkah selanjutnya, fase organik ditotolkan ± 4 μl pada lempeng KLT, dalam praktikum kali ini digunakan Kiesel Gel GF 254 sebagai fase diamnya. Kemudian lempeng KLT diproses dalam chamber yang berisi eluen yaitu n-heksana – etil asetat ( 4 : 1 ) sebagai fase gerak. Pemilihan eluen dengan komposisi tersebut berdasarkan kemampuannya untuk meminimumkan pengotor dan menghasilkan noda yang terpisah dengan baik. Setelah eluen mencapai batas elusi, lempeng KLT kemudian dikeringkan. Lempeng disemprot dengan pewarna noda anisaldehid asam sulfat dan kemudian dipanaskan. Adanya terpenoid atau steroid bebas ditunjukkan dengan terjadinya warna merah ungu, atau ungu. Noda pada lempeng KLT berwarna ungu, hal tersebut menunjukkan bahwa ekstrak simplisia mengandung terpenoid atau steroid bebas.
Dari hasil praktikum yang telah dilakukan didapatkan bahwa pada lempeng KLT tidak didapatkan hasil berwarna merah ungu. Hal tersebut menunjukkan bahwa ekstrak yang diidentifikasi tidak mengandung terpenoid atau steroid bebas.Identifikasi Senyawa Golongan Flavonoid
Flavonoid terutama berupa senyawa yang larut dalam air, dapat diekstraksi dengan etanol 70% dan tetap ada lapisan air setelah ekstrak ini di kocok dengan eter. Flavonoid berupa senyawa fenol, karena itu warnanya berubah bila ditambahkan basa atau amoniak. Jadi senyawa ini mudah dideteksi pada kromatogram atau dalam larutan.
Penggolongan jenis flavonoid dalam jaringan tumbuhan mula – mula didasarkan kepada telaah sifat kelarutan dan reaksi warna. Kemudian diikuti dengan pemeriksaan ekstrak tumbuhan yang telah dihidrolisis, secara kromatografi satu arah, dan pemeriksaaan ekstrak etanol secara dua arah. Akhirnya flavonoid dapat dipisahkan dengan cara kromatografi. Komponen masing – masing diidentifikasi dengan membandingkan kromatografi dan spektrum, dengan memakai senyawa pembanding yang sudah dikenal.
Pada uji flavonoid, yang pertama dilakukan adalah uji reaksi warna. Reaksi warna diawali dengan mengekstraksi ekstrak dengan n-heksana berkali – kali sampai ekstrak n-heksana tidak berwarna. Hal ini untuk memisahkan senyawa – senyawa lain yang mengganggu pengidentifikasian flavonoid. Kemudian residu dilarutkan dalam etanol yang merupakan pelarut universal yang juga dapat melarutkan flavonoid. Larutan ini dibagi menjadi 4 bagian yang digunakan untuk blanko, uji bate-smith dan metclaft, uji wilstaterdan uji kromatografi lapis tipis (KLT), yaitu IIIA, IIIB, IIIC, dan IIID.
Pada uji bate-smith dan metclaft larutan IIIB ditambahkan dengan 0,5 mL HCl pekat untuk menghidrolisis dan memutus ikatan glikosoda. Hidrolisis ini untuk menghidrolisis antosianin menjadi aglikon antosianin, yaitu antosianidin. Tetapi tidak ada perubahan warna yang terjadi. Kemudian larutan tersebut dipanaskan diatas penangas air untuk mempercepat terjadinya hidrolisis. Setelah itu, diamati perubahan warna yang terjadi.
Dari hasil praktikum ini didapatkan warna merah. Hal itu menunjukkan bahwa ekstrak D mengandung leukoantosianin, dimana adanya leukoantosianin ditunjukkan dengan adanya warna merah terang atau ungu.
Selanjutnya pada uji wilstater, larutan IIIC ditamabah 0,5 mL HCl pekat dan 4 potong magnesium. Penambahan ini untuk reaksi reduksi menjadikan suatu flavonol, flavanon, flavonon dan xanton. Penambahan asam akan menyebabkan perubahan warna ketika reduksi berlangsung. Kemudian larutan tersebut diencerkan dengan air suling dan ditambah dengan butanol sehingga terbentuk 2 lapisan antara larutan fase butanol yang ada pada bagian bawah. Diamati warna yang terjadi diantara kedua cairan (pada tiap lapisan). Tetapi tidak terjadi perubahan warna dan dapat dikatakan bahwa ekstrak D tidak mengandung flavonol, flavon atau flavonon.
Selanjutnya dilakukan uji KLT, dengan fase diam kiesel gel GF 254, fase gerak butanol-asam asetat glasial-air ( 4 : 1 : 5 ) dengan penampak noda uap amoniak. Larutan IIID ditotolkan pada lempeng sebanyak 4 μl atau sampai totolan berwarna, tetapi tidak sepekat warna ekstrak. Kemudian lempeng dieluasi dalam chamber, ditunggu hingga garis batas pada lempeng. Kemudian diangin – anginkan dan diuapkan diatas uap amoniak sampai terbentuk warna kuning yang segera hilang (reversible).Tetapi pada percobaan yang telah dilakukan, tidak terdapat warna kuning pada lempeng KLT. Sehingga didapatkan bahwa ekstrak D tidak mengandung flavonoid.
Keganjilan pada beberapa uji ini adalah uji reaksi warna bate-smith dan metclaf menunjukkan hasil positif dan pada uji wilstater dan uji KLT menunjukkan hasil yang negatif.
Hal ini dimungkinkan terjadi reaksi yang menyebabkan terjadinya positif palsu. Adanya positif palsu ini mungkin disebabkan karena hidrolisis yang kurang sempurna atau reduksi magnesium yang kurang, serta kurangnya pembentukan pigmen warna. Sehingga tidak dapat memberikan warna yang sesuai pada uji wilstater. Dan pada uji KLT dimungkinkan masih ada pengganggu sehingga tidak memunculkan hasil yang positif.
Identifikasi Senyawa Golongan Polifenol dan Tanin
Senyawa polifenol adalah suatu senyawa yang berasal dari tumbuhan, dimana salah satu cirinya adalah mengandung cincin aromatik yang tersubstitusi oleh dua atau lebih gugus fenol. Dua gugus fenol, hidrolisis dan terkondensasi terdiri dari tanin yang merupakan suatu zat yang penting secara ekonomi sebagai agen untuk menghaluskan kulit dan juga penting untuk tujuan kesehatan. Baru – baru ini ditemukan adanya fakta – fakta yang mendukung nilai potensialnya sebagai sitotoksik dan atau sebagai agen antineoplastic.
Tanin dapat berfungsi sebagai astringent dan memiliki kemampuan untuk menyamak kulit. Secara kimia, tanin adalah ester yang dapat dihidrolisis oleh pemanasan dengan larutan asam sampai menghasilkan senyawa fenol, biasanya merupakan derivate atau turunan dari asam garlic dan gula.
Untuk identifikasi senyawa golongan polifenol dan tanin dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu dengan cara reaksi warna dan juga melalui kromatografi lapis tipis.
Pada identifikasi senyawa golongan polifenol dan tanin yang pertama dilakukan adalah dengan mencampurkan ekstrak sebanyak 0,3 gram dengan 10 ml aquadest panas. Proses ini dilakukan untuk mempercepat reaksi dengan adanya pemanasan. Kemudian larutan tersebut diaduk dan dibiarkan sampai suhu kamar. Kemudian ditambahkan 4 tetes 10% NaCl, kemudian diaduk dan disaring. Penambahan NaCl bertujuan untuk menghilangkan pengotor dan protein, sehingga mencegah terjadinya negatif palsu pada uji warna. Filtrat kemudian dibagi menjadi tiga bagian masing – masing ± 4 ml dan disebut sebagai larutan IVA, IVB, dan IVC.
Kemudian dilakukan uji ferriklorida, yaitu larutan IIIA digunakan sebagai blanko dan larutan IIIC yang ditambahkan dengan beberapa tetes ferriklorida (FeCl3) ± 2-3 tetes maka akan terjadi perubahan warna menjadi warna hijau kehitaman. Warna hijau kehitaman tersebut merupakan endapan tanin yang dihasilkan oleh penambahan ferriklorida sehingga terjadi reaksi kimia antara ferriklorida dan gugus fenol dari tanin. Oleh karena itu pada uji ferriklorida ini menunjukkan hasil yang positif. Sehingga dapat dikatakan bahwa dalam ekstrak D mengandung tanin.
Untuk mengetahui lebih jelas apakah ekstrak D mengandung tanin atau polifenol maka dilanjutkan dengan uji gelatin. Larutan IVA digunakan sebagai blanko, kemudian larutan IVB ditambahkan dengan sedikit larutan gelatin dan 5 ml larutan NaCl 10%. Jika terjadi endapan putih menunjukkan adanya tanin. Hal tersebut terjadi karena gelatin maupun dengan reagen garam-gelatin merupakan indikasi adanya tanin. Dasar untuk reaksi ini adalah terbentuknya endapan antara protein / gelatin dan tanin, dimana reaksi menjadi lebih sensitif dengan penambahan NaCl untuk meningkatkan “salting out” dari kompleks protein-tanin. Tapi pada praktikum yang telah dilakukan, dengan uji gelatin ini tidak menunjukkan adanya endapan berwarna putih. Sehingga dapat dinyatakan bahwa ekstrak D tidak mengandung polifenol.
Ekstrak D positif mengandung polifenol karena pada uji ferriklorida menunjukkan hasil yang positif dan uji gelatin menunjukkan hasil yang negatif.
Uji selanjutnya adalah kromatografi lapis tipis. Sebagian larutan IVA digunakan untuk pemeriksaan KLT. Larutan IVA ditotolkan pada lempeng KLT ± 4 μl. Pada uji dengan KLT ini digunakan fase diam kiesel gel GF 254. Dan fase gerak berupa larutan kloroform-etil asetat ( 1 : 9 ) dan pereaksi penampak noda dengan pereaksi FeCl3. Melihat fase diam dan fase gerak yang digunakan dalam identifikasi ini, fase KLT yang digunakan adalah normal phase, karena sifat silika gel adalah polar, sedangkan fase geraknya bersifat non polar. Lempeng yang telah ditotolkan larutan IVA dan standar dieluasi dengan fase gerak. Setelah eluasi selesai, lempeng KLT dikeringkan dan diberi pereaksi FeCl. Pemberian penampak noda FeCl menimbulkan warna hitam. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak D mengandung polifenol. Data ini juga diperkuat dari uji ferriklorida yang menunjukkan hasil yang positif.
Identifikasi Senyawa Golongan Antrakinon
Golongan kuinon alam terbesar terdiri atas antrakuinon. Beberapa antarkuinon merupakan zat warna penting dan yang lainnya sebagai pencahar. Keluarga tumbuhan yang kaya akan senyawa jenis ini adalah Rubiaceae, Rhamnaceae, Polygonaceae.
Untuk mengidentifikasi senyawa antrakuinon dilakukan uji borntrager. Awalnya ekstrak ditambah air suling untuk melarutkan senyawa yang terkandung didalamnya lalu disaring untuk memisahkan senyawa pengotornya. Filtrat yang diperoleh di ekstrak dengan toluena dan dikocok kuat sehingga senyawa antrakinon akan terlarut dalam fase toluennya. Hasil ekstraksi dibagi menjadi dua yaitu larutan VA dan VB. Larutan VA digunakan sebagai blanko. Dan larutan VB ditambah amoniak dan dikocok. Warna merah menunjukkan adanya senyawa antrakinon. Tapi dari hasil percobaan yang dilakukan pada uji borntrager ini tidak didapatkan larutan menjadi berwarna merah. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak D tidak mengandung antrakinon.
Selanjutnya dilakukan uji modifikasi borntrager. Ekstrak sebanyak 0,3 gram ditambahkan dengan 1 ml KOH 5N dan 1 ml H2SO4 encer. KOH berfungsi sebagai pemberi suasana basa dan berfungsi untuk menghidrolisis glikosida dan mengoksidasi antron atau antranol menjadi antrakinon. Sedangkan H2SO4 berfungsi sebagai pemberi suasana asam. Sehingga didapatka senyawa dengan suasana netral dengan adanya penmbahan H2SO4. Kemudian larutan tersebut dipanaskan dan disaring. Filtrat kemudian ditambahkan asam asetat glasial 1 – 2 tetes, kemudian di ekstraksi dengan 3 mL toluena. Ekstraksi bertujuan untuk menghidrolisis antrakuinon, yaitu memisahkan antara glikon dan aglikonnya. Fase toluen diambil dan dibagi menjadi dua bagian, yaitu larutan VIA dan VIB. Larutan VIA digunakan sebagai blanko. Larutan VIB ditambahkan ammoniak. Ammoniak berfungsi untuk memberikan suasana basa. Warna merah atau merah muda pada lapisan alkalis menunjukkan adanaya antrakinon. Tetapi pada hasil praktikum ini tidak terjadi perubahan warna menjadi warna merah. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak d tidak mengandung senyawa antrakinon.
Selanjutnya dilakukan uji KLT. Fase diam yang digunakan adalah kiesel gel GF 254, dengan fase gerak toluena-etil asetat-asam asetat ( 75 : 24 : 1 ) dan dengan penampak noda larutan KOH 10% dalam metanol. Sampel yang ditotolkan merupakan larutan VA yang digunakan sebagai blanko pada uji borntrager. Larutan ditotolkan sampai tampak warna, tetapi tidak terlalu pekat, yang dalam hal ini ditotolkan ± 2 μl. Kemudian lempeng dieluasi dalam chamber yang berisi eluen. Setelah selesai eluasi, lempeng diambil dan dikeringkan. Setelah kering diberi penampak noda dengan disemprotkan larutan KOH 10% dalam metanol untuk menampakkan noda, dan noda yang timbul berwarna kuning. Hal itu menunjukkan adanya antrakuinon. Tapi dalam praktikum yang dilakukan tidak didapatkan noda berwarna kuning. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak D tidak mengandung antakuinon.
· KESIMPULAN
Dari hasil praktikum ini, diperoleh kesimpulan bahwa ekstrak D yang merupakan ekstrak buah kenitu mengandung :
Ø Terpenoid atau steroid bebas
Ø Polifenol
Dari hasil ini sesuai dengan literatur yang menyebutkan bahwa buah kenitu mengandung polifenol. Tapi pada praktikum ini juga didapatkan bahwa buah kenitu mengandung terpenoid atau steroid bebas. hasil ini dimungkinkan adanya positif palsu. Yang dikarenakan adanya pengganggu dalam percobaan. Dan kesalahan dalam percobaan.
DAFTAR PUSTAKA
- Harborne. J.B.,1987. Metode Fitokimia , terjemahan K. Radmawinata dan I. Soediso, 69-94, 142-158, 234-238. Bandung : ITB Press
- Teyler.V.E.et.al.1988.Pharmacognosy Edition 9th. 187 – 188. Phiadelphia : Lea & Febiger